Saturday, May 5, 2012

UNTITLED

Suatu hari di suatu siang di bulan Juli, sekitar seminggu sebelum tahun ajaran baru dimulai, tahun itu aku akan menjadi seorang siswi kelas 1 SMA di sebuah sekolah unggulan. Kelamaan melamun, aku malah jatuh tertidur di kursi dan dalam tidurku aku bermimpi tentang masa kecilku yang bahkan membuatku menangis saat terbangun.
Jakarta,  Juni 2006
Aku harus siap-siap, karena besok akan ada kegiatan yang mengharuskan aku untuk menginap di sekolah. Sebenarnya aku malas mengikuti acara ini apalagi harus bergabung dengan anak kelas 5-1. Aku pun meminta pada mama supaya aku tidak perlu mengikuti acara ini tapi...
“Ya sudah, adek nggak usah ikut aja. Tapi itu artinya raport kamu nggak akan mama ambilin. Kan lusa mama nggak ada urusan apa-apa datang ke sekolah selain jemput kamu dari acara itu, terima raport, kan cuma sekalian aja” kata mama ketika aku berusaha untuk membujuknya supaya aku tidak ikut. Akhirnya aku mengalah. Sore itu, aku pergi membeli barang-barang yang kuperlukan dan memasukkannya ke dalam tasku dengan setengah hati.
Keesokan harinya, jam 7.30 pagi aku sudah tiba di sekolah dengan tampang kusut dan langsung di tertawakan oleh sahabt-sahabatku.
“Kamu kenapa lagi, Gin? Masih pagi mukanya udah kusut aja, hahaha” , Nila sahabat terdekatku selama kelas 5 ini yang pertama menanggapi.
“Iya, tau, nih Gina, masa’ mau acara menginap begini mukanya malah kelipat tujuh gitu, senyum dong” Frizka sahabatku yang lain menambahkan.
“Abis acara hari ini sama anak kelas 5-1, sih aku malas gabung sama mereka” kataku dengan muka manyun.
Aku dan teman-temanku yang lain masih sibuk membahas hal lain, lalu...
“Wah, langka, nih. Masih pagi begini udah bisa liat nenek sihir, serem amat mukanya, huahahaha” kata suara lain di belakang kami.
Aku jelas tau suara menyebalkan ditambah ketawa setan itu. Masih pagi bikin kesal saja.
“Argya! Kamu diam aja, deh! Masih pagi udah nyebelin bikin mood tambah jelek aja” kataku marah.
“Apa? Muka kamu jelek? Nyadar, toh? Baguslah, senang aku dengarnya hahaha” kata Argya dengan nada bicara yang menyebalkan.
Seandainya saja aku tidak sadar dimana aku sekarang aku yakin sekarang ranselku sudah melayang ke muka Argya.
Saat berjalan melewati lapangan, aku bertemu “calon” teman-teman baruku saat naik kelas 6 nanti tapi sekarang aku belum tau itu. Ya, mereka adalah anak-anak kelas 5-1.
Acara hari itu berlangsung tidak seburuk pikiranku, aku bahkan sudah berteman dengan beberapa anak kelas 5-1. Tapi yang paling kacau tentu kontak pertamaku dengan Tomi.
Tomi itu bisa dibilang anak yang jahil, kira-kira selevel sama Argya. Hari itu saking sebalnya aku mengejar dia sambil membawa sebuah sapu.
Malamnya setelah semua kegiatan selesai kami bersiap-siap untuk kegiatan favoritku yaitu tidur, hahaha. Yang cowok tidur di ruangan kelas 6-1 dan yang cewek tidur di ruangan kelas 6-2. Malam itu adalah hari terakhir kami bersama Frizka karena saat kelas 6 nanti dia harus ikut ayahnya pindah ke Surabaya.
Tapi menjelang tengah malam aku merasa kurang enak badan. Jadi wali kelasku menelpon mama supaya aku dijemput saja. Akhirnya malam itu aku pulang dan kembali ke sekolah keesokan paginya.
***
Besoknya aku kembali ke sekolah tapi aku sudah tidak sempat bertemu Frizka karena dia harus mempersiapkan diri untuk kepindahannya. Yang kutemui hanya beberapa temanku yang masih dengan muka ngantuk, mungkin karena kurang tidur semalam.
Setelah mendapatkan raport-ku, aku mencari satu orang lain selain Frizka karena sejak tadi aku tidak melihatnya, biasanya dia sudah sibuk sendiri menggangguku. Ya, siapa lagi kalau bukan Argya. Sampai aku pulang dari sekolah aku tidak bertemu dia. Ku pikir aku akan bertemu lagi dengannya saat kami masuk sekolah bulan Juli nanti. Ternyata aku salah. Karena selama apapun aku menunggu, Argya tidak akan pernah masuk ke ruamg kelas 6-2. Selamanya.
***
Juli 2006
Mulai hari ini aku menjadi murid kelas 6, kelas tertinggi di SD aku pun pergi ke sekolah dengan semangat. Yang bikin kurang semangat hanya karena aku sudah tidak bisa lagi sekelas dengan Frizka. Rasanya aku cukup sedih karena tidak bisa bersama sahabatku yang satu itu.
Begitu masuk kelas, aku mencari sosok Mr.Trouble Maker tapi aku tidak menemukannya jadi aku bertanya pada Ari sahabat terdekat Argya.
“Lho? Gina kamu nggak tau? Argya sekarang sudah pindah ke Makassar. Papanya harus pindah tugas kesana. Lagian kan dia memang pindah kota setiap 2 tahun” kata Ari.
Mendengar itu aku sangat kaget, karena biarpun sering bertengkar, aku dan Argya sebetulnya cukup dekat. Hubungan kami memang selalu seperti itu sejak dia pertama pindah kesini saat kami baru naik ke kelas 4. Bertengkar itu seperti cara kami untuk menunjukkan seberapa akrab kami sebetulnya. Dan sebetulnya karena ada hal lain. Aku menyukai Argya sejak pertama kali bertemu. Bukan hanya suka sebagai sahabat tapi ku pikir bukan cinta juga, saat pertama bertemu dengannya aku merasa ada sesuatu yang berbeda di dalam dirinya, itu saja.
Selama beberapa waktu aku menjadi pendiam. Ada, sih murid pindahan tapi Cuma dari kelas 6-1. Amel namanya, tapi aku berusaha untuk tidak terlalu dekat dengannya, aku juga mengambil jarak dari Nila, Tari, Ambar, dan Ifa karena aku takut  kalau salah satu dari mereka juga harus pergi aku pasti akan sedih.
Tapi itu hanya bertahan sebentar. Dalam 3 bulan pertama kelas 6 aku sudah akrab dengan anak-anak kelas 6-1, apalagi cowoknya. Aku dan teman-temanku sering bersama mereka, entah itu di kantin, lorong depan kelas, atau di lapangan bermain basket saat jam pulang sekolah. Aku juga sudah cukup dekat dengan Tomi dan sesuai dugaanku dia memang selevel dengan Argya dalam hal jahilnya. Tidak jarang kami saling berkejaran karena kejahilannya. Dan saat itu aku tidak tau kalau hal ini akan berakibat cukup fatal terhadap hubungan kami semua.
***
Dan tibalah hari itu. Hari yang mengubah segalanya.
Hari itu, sekitar pertengahan semester 2 beberapa waktu sebelum musim ujian akhir aku lagi-lagi sedang berkejaran dengan Tomi. Kali ini lintasannya dari depan kelas 6-2 sampai ke tengah lapangan basket. Teman-teman kami melihat dari lantai 2, entah yang cewek dan yang cowok bahkan ada beberapa adik kelas yang melihat. Tapi ada satu hal yang kami tidak tau. Wali kelas 6-2, yaitu wali kelasku juga ada disana.
Kami berdua kembali ke lantai sambil tertawa tapi begitu sampai di kelas masing-masing wali kelasku membuatku berhenti tertawa saat itu juga.
“Gina, kamu sama teman-teman kamu pulang sekolah nanti tinggal dulu sebentar, ya. Ibu mau bicara dengan kalian” katanya datar.
Saat itu perasaanku tidak enak dan memang terbukti. Hari itu, untuk kedua kalinya aku kehilangan  teman bertengkarku.
 ***
Pulang sekolah hari itu, aku memang tinggal di sekolah lebih lama bahkan setelah ceramah panjang wali kelasku selesai, tapi hari itu aku tidak tinggal untuk bermain basket. Sepanjang siang aku menangis sambil terus meminta maaf padateman-temanku. Meski ceramah hari itu panjang intinya cukup singkat sebetulnya. Wali kelasku ingin aku berhenti bergaul dengan anak-anak kelas 6-1. Dia tidak suka melihatku terlalu dekat dengan mereka, apalagi cowoknya, katanya karena aku dan teman-temanku adalah perempuan dan kami pasti mengerti apa yang dia maksud.
“Gin, udah. Nggak usah nangis lagi. Untung Argya udah nggak ada, kalau ada kamu pasti bakal diledekin habis-habisan” kata Nila yang mencoba menghiburku.
“Gimana nggak nangis? Ini salahku. Karena aku kalian jadi tidak bisa dekat lagi dengan anak-anak kelas 6-1” dan sampai beberapa saat kemudian aku menangi sambil memandangi anak-anak kelas 6-1 di tempat kami biasa berkumpul. Hari itu juga wali kelasku memanggil mereka sehingga mereka juga tidak berusaha untuk berbaur dengan kami mulai hari itu.
***
Waktu berlalu, begitu juga bermacam-macam ujian akhir yang harus kami lewati untuk bisa lulus dari SD. Dalam mimpi ini, bahkan dalam keadaan sadar sekalipun aku mengingatnya. Aku menangis pada hari kelulusan kami. Dan hal lain yang membuatku cukup sedih adalah kenyataan kalau Tomi harus melanjutkan SMP-nya di kota lain karena mengikuti ayahnya yang juga berpindah pekerjaan. Alasan yang sama dengan saat kepergian Argya setahun yang lalu. Sampai awal SMP kadang-kadang kami masih SMS-an tetapi setelah itu hilang kontak sama sekali. Dan saat itu juga aku terbangun, dan aku mendapati ada beberapa jejak air mata di kelopak mataku. Saat itu juga aku berpikir, kenapa aku memimpikan hal ini? Dan aku menemukan jawabannya seminggu kemudian.
***
Jakarta, juli 2010
Seminggu kemudian aku menjadi siswi SMA, hari itu aku mengikuti pra MOS tanpa melihat seorang pun teman SMP-ku di gugus yang sama denganku. Rata-rata mereka di gugus 1 atau 2 sehingga aku sendirian di gugus 4.
Setelah selesai baris menurut gugus dan melakukan kegiatan pra MOS hari itu yaitu bersih-bersih sekolah, akhirnya aku bisa istirahat juga. Kami berkumpul per gugus untuk bisa saling mengenal teman gugus dan juga kakak-kakak panitia yang bertanggung jawab atas gugus kami. Ku lihat bagian tempat anak perempuan gugusku duduk sudah cukup penuh sehingga aku hanya berdiri di dekat sebuah pilar yang membatasiku dengan seorang anak cowok. Dan dia mengajakku bicara.
“Kenapa Cuma  berdiri di situ? Duduk aja disini, nggak apa-apa, kok” katanya.
Akhirnya aku duduk dengan hanya dibatasi sebuah pilar antara aku dan dia.
“Kok kamu diam aja? Jangan-jangan kamu udah lupa sama aku? Baru juga 3 tahun kamu udah lupa sama aku. Kamu Gina, kan? Ini aku, Tomi, teman SD kamu anak kelas 6-1 dulu” lanjutnya.
Dan saat itu aku menatapnya sebentar dan mendadak heboh lagi dengannya, hahaha. Kami bercerita tentang apa yang terjadi selama 3 tahun terakhir dan kali ini tanpa khawatir akan di marahi oleh wali kelasku.
Yap, ku harap pertemuan kembali ini akan menjadi awal dari cerita yang berbeda dan akan jauh lebih baik dari cerita kami sebelumnya.
-         END -

No comments:

Post a Comment