Saturday, July 7, 2012

(Shooting Star Limit Another Story) Our Wishes


Hari itu, di suatu hari di awal bulan Juli, biasanya aku sangat bersemangat, mengingat setiap akhir pekan pertama pasti akan ada festival bintang. Tapi tahun ini berbeda.
Setengah tahun yang lalu, di suatu hari yang dingin di bulan Januari, aku mendengar hal yang paling ingin dan paling tidak ingin kudengar. Hari itu, orang yang paling kusukai menyatakan perasaannya padaku, tapi di hari yang sama dia bilang kalau dia harus pergi meninggalkanku. Kalian tentu tahu siapa yang kumaksud, kan? Yap, dia adalah sahabatku sejak kecil sekaligus pacarku. Siapa lagi kalau bukan Georgio Cross.
Aku ingat saat pertama kali kami bertemu saat dia baru saja pindah ke kota ini waktu kami masih kelas 4 SD. Kesan pertamaku temtang Geo adalah bocah sombong, belagu, dan sok tahu, aku sangat tidak suka padanya.
Tapi siapa sangka? Festival bintang tahun itu mengubah pandanganku tentang dia. Dan bahkan mengubah perasaanku juga.
***
Pada tahun itu seperti biasanya akan di tunjuk murid yang akan berperan menjadi Vega dan Altair pada pementasan drama “Tanabata” pada festival bintang, dan entah kenapa aku dan Geo yang terpilih. Senang, sih dapat peran utama, tapi kenapa harus sama dia? Itu pikirku.
Ternyata aku salah. Benar apa kata orang, don’t judge a book by it’s cover. Geo itu sama sekali berbeda dengan yang kubayangkan.
Geo itu sebetulnya orang yang kalem, jahil, dan tidak begitu pandai bergaul, makanya orang jadi sering salah paham soal dia. Kalau diajak bicara enak, kok. Dia menceritakan tentang dirinya padaku. Dia anak tengah, punya seorang kakak perempuan yang kuliah di kota lain dan adik laki-laki yang masih berumur 3 tahun. Dia datang ke kota ini mengikuti ayahnya yang di mutasi ke kota ini dan selama di SD ini sudah ke dua kalinya dia pindah sekolah.
Dia pikir dia nggak perlu punya teman karena pasti dia akan pergi ke kota lain, tapi dia bilang dia senang berbicaara dan menjadi temanku. Maka, hari itu aku memperkenalkannya pada sahabatku Aria dan Azel supaya dia sedikit demi sedikit bisa membuka dirinya pada teman-teman yang lain. Aku ingat, kok, hari itu dia mengatakannya padaku saat kami berlatih sampai malam.
“Makasih, ya, Cher, aku senang, kok, jadi temanmu. Habisnya di kota sebelumnya, aku nggak pernah tertarik untuk punya teman, buat apa kalau pada akhirnya harus ditinggalkan juga? Tapi kamu berhasil mengubah pikiranku.”, katanya sambil tersenyum dan menatapku.
“Iya, aku juga senang, kok. Mungkin lebih baik kalau temanmu bukan cuma aku, tapi teman-teman yang lain juga. Iya, kan?”
“Terus, kamu harus ingat ini, apapun yang terjadi, sejauh apapun kita terpisah, berapa kalipun musim berganti, aku akan selalu ada buat kamu, dan ingat, kalau kamu suatu hari nanti nggak betah di tempat kamu berada saat itu, kamu boleh kembali kesini kapan saja, karena kota ini adalah rumahmu.” lalu aku balik tersenyum kepadanya.
“Kamu dewasa banget, sih. Kamu betulan masih kelas 4? Bijak banget.”katanya sambil tertawa dan mengacak rambutku.
“Tapi itu yang bikin aku tertarik sama kamu.”
“Ah? Apa? Tadi kamu ngomong apa? Aku nggak dengar.” kataku penasaran, habis suaranya benar-benar kecil seperti berbisik ke semut.
“Nggak apa-apa, kok. Nggak usah dipikirin, aku nggak ngomong apa-apa tadi. Udah, ah, di luar juga udah gelap. Kamu pulang sama aku aja, ya? Kan rumah kita dekat.” lalu dia tidak ngomong apa-apa lagi. Aku penasaran, tapi aku nggak bisa tanya. Mungkin memang butuh waktu beberapa tahun  sebelum kami dapat mengekspresikan perasaan ini dengan benar.
Pertunjukan drama kami berakhir sukses, setelah selesai Geo mengajakku berkeliling festival. Saat sampai di batangan bambu tempat orang-orang bisa menggantung kertas yang isinya adalah permintaan orang tersebut dia malah bersemangat menarikku ke sana. Dia bilang,
“Ayo kita juga tulis permohonan juga. Masa pergi ke festival bintang malah nggak bikin permohonan. Ayolah!”. Akhirnya aku menunggu dia pergi mengambil kertas tanpa bertanya kertas warna apa yang kuinginkan. Ternyata dia memang punya sisi nyebelin.
“Nih, udah aku ambilin, yang ini warna favorit kamu, kan? Kebetulan tinggal satu tadi.” katanya sambil menyerahkan selembar kertas berwarna pink.
“Lho? Kamu tahu dari mana? Emang aku pernah bilang ke kamu soal warna favoritku, ya? Kataku penasaran sekaligus takjub dengan pengetahuan orang ini.
“Nggak pernah. Tapi aku tanya ke Aria. Jadi aku udah tahu semua yang kamu suka.” katanya sambil menunjukkan senyum andalannya biarpun kalau dia lagi sama teman cewek yang lain dia tidak pernah tersenyum seperti ini. Kenapa cuma aku?
“Oh, iya, tadi kamu nulis apa di kertas kamu? Penasaran aku.” kataku.
“Apa ya? Mau tahu aja atau mau tahu banget?” katanya sok rahasia.
“Nggak bilang juga nggak apa-apa, sih, kan aku tinggal balik ke sana terus liat kertas kamu.”
“Bener, nih? Padahal aku baru mau bilang daripada repot-repot begitu” katanya dengan muka mengejek.
“Serius? Apaan?”
“Nggak jadi.” kata Geo sambil menjulurkan lidahnya.
“Yah, padahal aku juga baru mau kasih tahu aku tadi minta apa, aku juga nggak jadi deh.” kataku sambil menjulurkan lidah juga.
Saat aku mulai melangkah pergi meninggalkan Geo dia mengatakannya, walau suaranya kecil tapi cukup keras bagiku untuk bisa mendengarnya.
“Aku harap supaya aku nggak usah pindah ke kota lain dan terus tinggal di kota ini denganmu”.
Saat berbalik, aku bisa melihat mukanya merah seperti udang rebus, dan tentu saja aku tertawa.
“Hahaha, lucu, deh. Kok bisa kita meminta permohonan yang sama?”
“Ah? Maksud kamu?” kata Geo dengan ekspresi bingung tapi masih merah seperti tadi.
Dan aku tersenyum dan bilang “Aku minta supaya kamu nggak usah pindah kemana-mana lagi dan kita bisa terus sama-sama.”
“Serius? Kenapa?” kata Geo dengan muka bingung.
Aku masih tersenyum dan memeluknya, “Karena kamu sahabatku makanya aku nggak mau kamu pergi.”
“Kalau kamu bilang begitu apapun yang terjadi aku nggak bakal pergi dari sini. Aku janji.” dan Geo balas memelukku dan menunjukkan senyum yang hanya dia tunjukkan padaku.
Hari itu, sepertinya kami berdua memang sudah menyadari perasaan kami masing-masing.
***
“Cher...Cherry... bangun, masa mau tidur terus? Tadi dia yang manggil aku kesini dianya malah tidur, banguuuun” teriak Aria sampai membuatku bangun saat itu juga.
“Ah? Oh, yang tadi cuma mimpi, ya? Hahaha, sorry kamu kelamaan, sih jadinya aku ketiduran, deh.” kataku nyengir.
“Terserahlah, paling cuma mimpiin si bocah belagu itu. Nggak penting. Mending sekarang lanjut aja bikin brosurnya nanti nggak keburu buat promosiin festivalnya.” kata Aria.
“Iya, iya nyonya besar.” kataku dengan nada bercanda yang di sambut tatapan galak Aria.
Biar tidak ketemu langsung, tapi setidaknya bisa ketemu dalam mimpi, lagian sekarang teknologi sudah canggih. Sudahlah, aku yakin kami pasti bertemu lagi. Karena setiap festival bintang itulah permohonan kami
-         END –

No comments:

Post a Comment