Hari itu,
di suatu hari di awal bulan Juli, biasanya aku sangat bersemangat, mengingat
setiap akhir pekan pertama pasti akan ada festival bintang. Tapi tahun ini
berbeda.
Setengah
tahun yang lalu, di suatu hari yang dingin di bulan Januari, aku mendengar hal
yang paling ingin dan paling tidak ingin kudengar. Hari itu, orang yang paling
kusukai menyatakan perasaannya padaku, tapi di hari yang sama dia bilang kalau
dia harus pergi meninggalkanku. Kalian tentu tahu siapa yang kumaksud, kan? Yap,
dia adalah sahabatku sejak kecil sekaligus pacarku. Siapa lagi kalau bukan Georgio Cross.
Aku ingat
saat pertama kali kami bertemu saat dia baru saja pindah ke kota ini waktu kami
masih kelas 4 SD. Kesan pertamaku temtang Geo adalah bocah sombong, belagu, dan
sok tahu, aku sangat tidak suka padanya.
Tapi siapa
sangka? Festival bintang tahun itu mengubah pandanganku tentang dia. Dan bahkan
mengubah perasaanku juga.
***
Pada tahun
itu seperti biasanya akan di tunjuk murid yang akan berperan menjadi Vega dan
Altair pada pementasan drama “Tanabata” pada festival bintang, dan entah kenapa
aku dan Geo yang terpilih. Senang, sih dapat peran utama, tapi kenapa harus
sama dia? Itu pikirku.
Ternyata
aku salah. Benar apa kata orang, don’t judge a book by it’s cover. Geo
itu sama sekali berbeda dengan yang kubayangkan.
Geo itu
sebetulnya orang yang kalem, jahil, dan tidak begitu pandai bergaul, makanya
orang jadi sering salah paham soal dia. Kalau diajak bicara enak, kok. Dia
menceritakan tentang dirinya padaku. Dia anak tengah, punya seorang kakak
perempuan yang kuliah di kota lain dan adik laki-laki yang masih berumur 3
tahun. Dia datang ke kota ini mengikuti ayahnya yang di mutasi ke kota ini dan
selama di SD ini sudah ke dua kalinya dia pindah sekolah.
Dia pikir
dia nggak perlu punya teman karena pasti dia akan pergi ke kota lain, tapi dia
bilang dia senang berbicaara dan menjadi temanku. Maka, hari itu aku
memperkenalkannya pada sahabatku Aria dan Azel supaya dia sedikit demi sedikit
bisa membuka dirinya pada teman-teman yang lain. Aku ingat, kok, hari itu dia
mengatakannya padaku saat kami berlatih sampai malam.
“Makasih,
ya, Cher, aku senang, kok, jadi temanmu. Habisnya di kota sebelumnya, aku nggak
pernah tertarik untuk punya teman, buat apa kalau pada akhirnya harus ditinggalkan juga? Tapi kamu berhasil mengubah pikiranku.”,
katanya sambil tersenyum dan menatapku.
“Iya, aku
juga senang, kok. Mungkin lebih baik kalau temanmu bukan cuma aku, tapi
teman-teman yang lain juga. Iya, kan?”
“Terus,
kamu harus ingat ini, apapun yang terjadi, sejauh apapun kita terpisah, berapa
kalipun musim berganti, aku akan selalu ada buat kamu, dan ingat, kalau kamu
suatu hari nanti nggak betah di tempat kamu berada saat itu, kamu boleh kembali
kesini kapan saja, karena kota ini adalah rumahmu.” lalu aku balik tersenyum
kepadanya.
“Kamu
dewasa banget, sih. Kamu betulan masih kelas 4? Bijak banget.”katanya sambil
tertawa dan mengacak rambutku.
“Tapi itu
yang bikin aku tertarik sama kamu.”
“Ah? Apa? Tadi
kamu ngomong apa? Aku nggak dengar.” kataku penasaran, habis suaranya
benar-benar kecil seperti berbisik ke semut.
“Nggak
apa-apa, kok. Nggak usah dipikirin, aku nggak ngomong apa-apa tadi. Udah, ah,
di luar juga udah gelap. Kamu pulang sama aku aja, ya? Kan rumah kita dekat.”
lalu dia tidak ngomong apa-apa lagi. Aku penasaran, tapi aku nggak bisa tanya.
Mungkin memang butuh waktu beberapa tahun
sebelum kami dapat mengekspresikan perasaan ini dengan benar.
Pertunjukan
drama kami berakhir sukses, setelah selesai Geo mengajakku berkeliling festival. Saat
sampai di batangan bambu tempat orang-orang bisa menggantung kertas yang isinya
adalah permintaan orang tersebut dia malah bersemangat menarikku ke sana. Dia
bilang,
“Ayo kita
juga tulis permohonan juga. Masa pergi ke festival bintang malah nggak bikin
permohonan. Ayolah!”. Akhirnya aku menunggu dia pergi mengambil kertas tanpa
bertanya kertas warna apa yang kuinginkan. Ternyata dia memang punya sisi
nyebelin.
“Nih, udah
aku ambilin, yang ini warna favorit kamu, kan? Kebetulan tinggal satu tadi.”
katanya sambil menyerahkan selembar kertas berwarna pink.
“Lho? Kamu
tahu dari mana? Emang aku pernah bilang ke kamu soal warna favoritku, ya? Kataku penasaran
sekaligus takjub dengan pengetahuan orang ini.
“Nggak
pernah. Tapi aku tanya ke Aria. Jadi aku udah tahu semua yang kamu suka.”
katanya sambil menunjukkan senyum andalannya biarpun kalau dia lagi sama teman
cewek yang lain dia tidak pernah tersenyum seperti ini. Kenapa cuma aku?
“Oh, iya,
tadi kamu nulis apa di kertas kamu? Penasaran aku.” kataku.
“Apa ya? Mau tahu aja atau mau tahu banget?” katanya sok rahasia.
“Nggak
bilang juga nggak apa-apa, sih, kan aku tinggal balik ke sana terus liat kertas
kamu.”
“Bener,
nih? Padahal aku baru mau bilang daripada repot-repot begitu” katanya dengan
muka mengejek.
“Serius? Apaan?”
“Nggak
jadi.” kata Geo sambil menjulurkan lidahnya.
“Yah,
padahal aku juga baru mau kasih tahu aku tadi minta apa, aku juga nggak jadi
deh.” kataku sambil menjulurkan lidah juga.
Saat aku
mulai melangkah pergi meninggalkan Geo dia mengatakannya, walau suaranya kecil
tapi cukup keras bagiku untuk bisa mendengarnya.
“Aku harap
supaya aku nggak usah pindah ke kota lain dan terus tinggal di kota ini
denganmu”.
Saat
berbalik, aku bisa melihat mukanya merah seperti udang rebus, dan tentu saja
aku tertawa.
“Hahaha,
lucu, deh. Kok bisa kita meminta permohonan yang sama?”
“Ah? Maksud
kamu?” kata Geo dengan ekspresi bingung tapi masih merah seperti tadi.
Dan aku
tersenyum dan bilang “Aku minta supaya kamu nggak usah pindah kemana-mana lagi
dan kita bisa terus sama-sama.”
“Serius? Kenapa?”
kata Geo dengan muka bingung.
Aku masih
tersenyum dan memeluknya, “Karena kamu sahabatku makanya aku nggak mau kamu
pergi.”
“Kalau kamu
bilang begitu apapun yang terjadi aku nggak bakal pergi dari sini. Aku janji.”
dan Geo balas memelukku dan menunjukkan senyum yang hanya dia tunjukkan padaku.
Hari itu,
sepertinya kami berdua memang sudah menyadari perasaan kami masing-masing.
***
“Cher...Cherry...
bangun, masa mau tidur terus? Tadi dia yang manggil aku kesini dianya malah
tidur, banguuuun” teriak Aria sampai membuatku bangun saat itu juga.
“Ah? Oh,
yang tadi cuma mimpi, ya? Hahaha, sorry kamu kelamaan, sih jadinya aku
ketiduran, deh.” kataku nyengir.
“Terserahlah,
paling cuma mimpiin si bocah belagu itu. Nggak penting. Mending sekarang lanjut
aja bikin brosurnya nanti nggak keburu buat promosiin festivalnya.” kata Aria.
“Iya, iya
nyonya besar.” kataku dengan nada bercanda yang di sambut tatapan galak Aria.
Biar tidak
ketemu langsung, tapi setidaknya bisa ketemu dalam mimpi, lagian sekarang
teknologi sudah canggih. Sudahlah, aku yakin kami pasti bertemu lagi. Karena
setiap festival bintang itulah permohonan kami
No comments:
Post a Comment