Wednesday, June 6, 2012

The Sixth Sense Part 2


“Rea! Astrea! Dengar nggak, sih? Dari tadi di panggil nggak nengok-nengok” teriak Ivan sambil berusaha untuk mengejarku.
“Apaan, sih? Kalau soal pulang bareng hari ini nggak bisa, kamu pulang sama yang lain aja, aku hari ini ada urusan” kataku sambil terus berjalan ke arah mobil jemputanku.
“Hari ini juga? Ini udah seminggu, lho. Jangan-jangan kamu habis lihat sesuatu tapi nggak bilang sama aku”
“Iya, aku emang lihat kalau hari ini ada 2 orang yang udah mau nembak kamu tapi nggak jadi karena kamu ngejar aku ke sini. Udah, ya. Aku pulang duluan” aku masuk ke mobil dan langsung pulang.
Selama seminggu terakhir ini aku memang minta untuk di jemput saat pulang, sebelumnya hampir setiap hari aku naik motor sama Ivan. Alhasil sekarang banyak cewek-cewek yang ngantri pengen di antar pulang sama Ivan.
Aku memang benar-benar melihat sesuatu. Kali ini aku melihat Ivan yang terkena kecelakaan jika dia bersamaku selama seminggu ini makanya aku menghindarinya. Ada untungnya juga punya kekuatan seperti ini, setidaknya aku bisa melindungi orang-orang yang penting untukku.
Sore itu Ivan datang dengan adiknya yang bernama Sherry. Dia mengantarkan oleh-oleh titipan orang tuanya yang baru pulang dari dinas di luar kota. Setelah urusannya selesai dan dengan sedikit basa basi Sherry memutuskan untuk pamit, tapi Ivan tetap tinggal dan langsung menarikku ke beranda kamarku untuk mengintrogasi.
“Kamu kenapa, sih? Kayaknya selama seminggu terakhir ini kamu menghindar dari aku. Kenapa? Ada masalah?”
Awalnya aku diam saja tapi karena Ivan terus memaksa akhirnya aku mengatakan semua yang ingin dia ketahui. Dan tentu saja dia marah karena itu.
“Cuma karena  aku sampai kamu menghindar? Kamu nggak tau gimana perasaan aku selama seminggu terakhir karena kamu nggak ada.”
“Tapi, kan kamu punya banyak teman yang lain, cewek yang ngabtri mau jadi pacar kamu juga banyak. Nggak mungkin kamu terikat sama aku selamanya, kan?” kataku datar.
“Nggak bisa, kamu udah lupa? Dulu aku bersumpah bakal ngejagain kamu nggak peduli apa kata orang. It’s always been you, you know that, right?” katanya dengan muka yang terlihat (sok) serius.
“Iya, aku tau. Tapi kalau itu berarti membahayakan diri kamu sendiri lebih baik nggak usah, aku nggak mau apa-apa terjadi sama aku soalnya aku....”  aku menghentikan kata-kataku dan mulai merasakan seluruh tubuhku menjadi panas.
“Kenapa? Kamu mau bilang sesuatu? Aku nggak punya kekuatan buat baca pikiran kamu, tapi nggak tau kenapa aku tau apa kelanjutan kata-katamu tadi. Perlu aku lanjutin sekarang?” dan kali ini wajahnya benar-benar menjadi serius. Dan sebelum aku sempat menjawab pertanyaannya dia sudah menarik tubuhku dan memelukku.
“Dari awal aku udah merasa kamu itu spesial, bukan karena kelebihanmu tapi ada sesuatu yang lain yang bikin aku tertarik sama kamu. Aku nggak tau ini bener atau nggak tapi aku pikir perasaan kamu juga sama kayak aku” katanya dengan nada yang agak kaku dan terbata-bata. Tapi aku berusaha untuk mengendalikan diriku.
“Iya, kamu ada benarnya, tapi aku nggak bisa, Van” kataku pelan.
“Kenapa? Jangan bilang kamu lihat sesuatu yang jelek lagi soal kita? Nggak usah di peduliin. Apapun yang terjadi aku bakal jagain kamu”
“Seenggaknya kasih aku waktu. Please, aku butuh waktu buat mikir.” Kataku.
“Ya udah, kamu pikirin dulu, ya. Udah malam, aku pulang dulu. Sampai ketemu besok”, lalu dia berjalan keluar dari kamarku.
Setelah yakin dia sudah benar-benar sudah pulang air mataku mengalir sangat deras dan aku yakin ini pertama kalinya seperti ini. Bukan karena aku tidak suka sama dia, aku sangat menyukainya bahkan jauh sebelum bertemu dengannya aku tahu dia orang yang ditakdirkan untukku tapi sayang semuanya semua sudah terlambat. Karena aku sudah tidak bisa melihat apa yang akan terjadi lusa. Besok siang adalah penglihatan terakhirku itu artinya besok adalah hari kematianku.

No comments:

Post a Comment