“Rea!
Astrea! Dengar nggak, sih? Dari tadi di panggil nggak nengok-nengok” teriak
Ivan sambil berusaha untuk mengejarku.
“Apaan,
sih? Kalau soal pulang bareng hari ini nggak bisa, kamu pulang sama yang lain
aja, aku hari ini ada urusan” kataku sambil terus berjalan ke arah mobil
jemputanku.
“Hari ini
juga? Ini udah seminggu, lho. Jangan-jangan kamu habis lihat sesuatu tapi nggak
bilang sama aku”
“Iya, aku
emang lihat kalau hari ini ada 2 orang yang udah mau nembak kamu tapi nggak
jadi karena kamu ngejar aku ke sini. Udah, ya. Aku pulang duluan” aku masuk ke
mobil dan langsung pulang.
Selama
seminggu terakhir ini aku memang minta untuk di jemput saat pulang, sebelumnya
hampir setiap hari aku naik motor sama Ivan. Alhasil sekarang banyak
cewek-cewek yang ngantri pengen di antar pulang sama Ivan.
Aku memang
benar-benar melihat sesuatu. Kali ini aku melihat Ivan yang terkena kecelakaan
jika dia bersamaku selama seminggu ini makanya aku menghindarinya. Ada
untungnya juga punya kekuatan seperti ini, setidaknya aku bisa melindungi
orang-orang yang penting untukku.
Sore itu
Ivan datang dengan adiknya yang bernama Sherry. Dia mengantarkan oleh-oleh
titipan orang tuanya yang baru pulang dari dinas di luar kota. Setelah
urusannya selesai dan dengan sedikit basa basi Sherry memutuskan untuk pamit,
tapi Ivan tetap tinggal dan langsung menarikku ke beranda kamarku untuk
mengintrogasi.
“Kamu
kenapa, sih? Kayaknya selama seminggu terakhir ini kamu menghindar dari aku. Kenapa?
Ada masalah?”
Awalnya aku
diam saja tapi karena Ivan terus memaksa akhirnya aku mengatakan semua yang
ingin dia ketahui. Dan tentu saja dia marah karena itu.
“Cuma
karena aku sampai kamu menghindar? Kamu
nggak tau gimana perasaan aku selama seminggu terakhir karena kamu nggak ada.”
“Tapi, kan
kamu punya banyak teman yang lain, cewek yang ngabtri mau jadi pacar kamu juga
banyak. Nggak mungkin kamu terikat sama aku selamanya, kan?” kataku datar.
“Nggak
bisa, kamu udah lupa? Dulu aku bersumpah bakal ngejagain kamu nggak peduli apa
kata orang. It’s always been you, you know that, right?” katanya dengan
muka yang terlihat (sok) serius.
“Iya, aku
tau. Tapi kalau itu berarti membahayakan diri kamu sendiri lebih baik nggak
usah, aku nggak mau apa-apa terjadi sama aku soalnya aku....” aku menghentikan kata-kataku dan mulai
merasakan seluruh tubuhku menjadi panas.
“Kenapa? Kamu
mau bilang sesuatu? Aku nggak punya kekuatan buat baca pikiran kamu, tapi nggak
tau kenapa aku tau apa kelanjutan kata-katamu tadi. Perlu aku lanjutin
sekarang?” dan kali ini wajahnya benar-benar menjadi serius. Dan sebelum aku
sempat menjawab pertanyaannya dia sudah menarik tubuhku dan memelukku.
“Dari awal
aku udah merasa kamu itu spesial, bukan karena kelebihanmu tapi ada sesuatu
yang lain yang bikin aku tertarik sama kamu. Aku nggak tau ini bener atau nggak
tapi aku pikir perasaan kamu juga sama kayak aku” katanya dengan nada yang agak
kaku dan terbata-bata. Tapi aku berusaha untuk mengendalikan diriku.
“Iya, kamu
ada benarnya, tapi aku nggak bisa, Van” kataku pelan.
“Kenapa? Jangan
bilang kamu lihat sesuatu yang jelek lagi soal kita? Nggak usah di peduliin. Apapun
yang terjadi aku bakal jagain kamu”
“Seenggaknya
kasih aku waktu. Please, aku butuh waktu buat mikir.” Kataku.
“Ya udah,
kamu pikirin dulu, ya. Udah malam, aku pulang dulu. Sampai ketemu besok”, lalu
dia berjalan keluar dari kamarku.
Setelah
yakin dia sudah benar-benar sudah pulang air mataku mengalir sangat deras dan
aku yakin ini pertama kalinya seperti ini. Bukan karena aku tidak suka sama
dia, aku sangat menyukainya bahkan jauh sebelum bertemu dengannya aku tahu dia
orang yang ditakdirkan untukku tapi sayang semuanya semua sudah terlambat. Karena
aku sudah tidak bisa melihat apa yang akan terjadi lusa. Besok siang adalah
penglihatan terakhirku itu artinya besok adalah hari kematianku.
No comments:
Post a Comment