Wednesday, August 8, 2012
Everlasting Partner part 1
Aku terlahir sebagai tuan putri sebuah keluarga bangsawan darah biru, seingatku selama 9 tahun sejak lahir sampai sekarang, aku tidak pernah keluar dari rumah, yang di sebut oleh orang biasa sebagai mansion, bahkan istana ini. Semua hal ku lakukan di rumah, aku tidak pernah pergi ke sekolah, orang tuaku memanggil guru-guru terbaik untuk datang ke rumah dan mengajariku pelajaran seperti matematika, sains dan lain-lain, selain itu orang tuaku juga memanggil guru kursus terbaik untuk hal-hal non akademik seperti balet, renang dan lainnya. Selama 9 tahun aku tidak punya teman, tapi siapa sangka, di hari saat aku benar-benar menginjak umur 9 tahun duniaku berubah.
Di hari itu, papa dan mama mengundang rekan bisnis mereka yang juga mengajak anak-anak mereka, aku tahu mereka hanya berpura-pura manis padaku karena aku yakin orang tua mereka ingin orang tuaku melihat sisi baik mereka. Benar-benar menjijikkan.
Tapi di antara anak-anak yang sok cari perhatian itu, ada satu yang berbeda. Seorang anak laki-laki yang kira-kira berumur 13 tahun, karena bosan dengan anak-anak lain aku menghampirinya yang sedang duduk sendirian di sebuah meja.
“Permisi, apakah kursi ini kosong?” kataku dengan sopan.
“Ah? Oh, ya, tentu, silakan duduk” katanya sambil berdiri dan menarik salah satu kursi yang kosong supaya aku bisa duduk.
“Kamu Cherry Weber, anak tuan Weber yang mengadakan acara ini, bukan? Maaf berlaku tidak sopan, saya bahkan belum memperkenalkan diri saya. Perkenalkan, Zero Meyer, putra tertua dari pemilik Meyer inc.” Katanya sopan. Dia lalu menarik salah satu kursi yang kosong supaya aku duduk di situ lalu sepanjang malam itu ku habiskan berbicara dan bercanda dengannya. Aku merasa sangat senang saat bersamanya dan dia juga merasa begitu jadi setiap ada pesta kami berjanji akan bertemu lagi lalu saat pesta itu berakhir kami berjanji akan bertemu lagi di pesta yang lain dan terus seperti itu berulang-ulang.
Siapa sangka pertemuanku dengan Zero Meyer akan mengubah duniaku.
***
Sekitar 2 minggu setelah pertemuan kami, mama memberi tahu sesuatu yang membuatku senang tapi heran juga benar-benar membingungkan.
“Cherry, akhir-akhir ini sepertinya akhir-akhir ini kamu jadi rajin ikut ke pesta dan berbicara dengan putra tertua keluarga Meyer, apa itu benar? Ada apa di antara kalian?” kata mama di suatu hari saat aku, mama dan papa sedang makan malam bersama di rumah.
“Iya, mama, tapi tidak ada apa-apa di antara kami, kami hanya berteman apa tidak bias?” kataku dengan gugup.
“TIdak, mama malah senang, apalagi dia dari keluarga yang selevel dengan kita, oh, iya, dan satu lagi mulai lusa kamu akan masuk ke sekolah yang sama dengannya” kata mama sambil meneruskan makannya.
“Lho? Tapi kenapa? Bukannya belajar di rumah dengan guru terbaik saja sudah cukup?” kataku.
“Sebagai penerus kamu harus terus menambah pengetahuan dan kenalanmu juga, selain itu kamu harus selalu bersama tunanganmu, dan mama tidak mau dengar kamu protes” kata mama.
Aku sama sekali tidak ada keinginan untuk protes soal sekolah, tapi tunangan? Aku sama sekali tidak pernah mendengar soal ini. Aku minta penjelasan mama dan dia hanya bilang pertunanganku dan Zero akan diadakan saat ulang tahun Zero yang ke 14 di bulan Agustus, 3 bulan dari sekarang.
Malamnya Zero dating dengan keluarganya untuk membicarakan hal ini, saking gugupnya aku bahkan tidak bisa melihat langsung muka Zero, sampai akhirnya dia minta izin untuk keluar denganku.
Kami pergi ke taman untuk berjalan-jalan, tidak ada yang bicara sampai akhirnya Zero memutuskan untuk duduk di salah satu bangku panjang di taman itu dan mengajakku bicara.
“Hari ini, bintangnya banyak, ya, keren deh” katanya memecah keheningan.
“Iya, ya, semoga setiap hari bisa seperti ini seterusnya” kaataku sambil melihat kea rah langit masih belum berani melihat muka Zero.
“Kamu tahu, nggak? Waktu kecil dulu aku benci namaku, soalnya aku merasa aku itu nothing, tapi sekarang aku malah bangga sama namaku” katanya.
“Kenapa?” hanya itu yang bisa ku katakan.
“Soalnya ku pikir semua itu di mulai dari nol nggak mungkin langsung dari 1 atau bahkan 10,kan” katanya sambil tertawa.
“Oh, iya, mulai besok kamu masuk sekolah, kan? Setiap hari kita pulang bareng, ya. Masuk, yuk lama-lama jadi dingin di sini nggak tahan aku” katanya lalu menggandeng tanganku dan berjalan masuk kembali ke dalam rumah.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment