Malamnya,
aku memanggil Lea dan Annet untuk memberitahu mereka soal kepergianku ke masa
depan dan ideku untuk pindah kelas.
“Kamu
segitu ngefansnya ya sama kita? Sampai ngotot begitu.” ejek Lea.
“Nggak
gitu juga, tapi kan seru kalau kita berlima sekelas, jadinya nggak ada yang
merasa jadi alien.”
kataku.
“Tapi
iya juga sih, kalau Vega sama Rei juga di kelas kita pasti bakal lebih seru, ya
udah coba aja.” kata
Annet.
Dan
langsung saja aku mengabari Rei dan biarpun dia tidak mengakuinya aku yakin
dia sangat
senang karena akan bisa sekelas lagi dengan Ace dan bisa mengganggu orang lagi,
aku
yakin itu.
Keesokan harinya kami berlima pergi ke ruangan kepala sekolah dan
membuat orang-orang di sana bingung, biasanya murid yang datang ke sini hanya
murid-murid yang bermasalah, Rei dan Ace sudah beberapa kali ke sini karena
“bercanda berlebihan” mereka dan yang orang-orang itu tahu aku, Annet dan Lea
adalah tipe orang yang sebisa mungkin nggak mau repot dengan hukuman karena
“bercanda berlebihan” itu, mereka pasti berpikir kenapa kami ada disini.
Aku langsung bertanya pada petugas tata usaha apakah kepala sekolah ada
di ruangannya atau tidak.
“Iya, ada sih, tapi ada perlu apa kalian ke sini?” tanya petugas tata
usaha itu.
“Ada sesuatu yang penting yang harus kami bicarakan dengannya sekarang
juga.” kataku.
“Ya sudah, tunggu sebentar, ya.” kemudian orang itu menelepon ke dalam
untuk memberitahukan kepala sekolah kalau ada yang ingin bertemu dengannya,
setelah menelepon dia memanggil kami.
“Katanya kalian bisa masuk sekarang.” kata petugas tata usaha itu lalu
dia kembali ke pekerjaannya, kami masuk setelah berterima kasih padanya, lebih
tepatnya aku, Annet dan Lea, sih karena dua orang yang lain tidak peduli.
Tidak usah tanya apa yang terjadi di dalam, intinya kami berlima – ya,
dua orang itu juga – berdebat dengan kepala sekolah, dia tidak mau memindahkan
siapapun ke kelas yang mereka inginkan karena kepentingan pribadi mereka tapi
dia tidak tahu kalau dia sedang berdebat dengan – mungkin – lima orang yang
paling keras kepala di sekolah ini dan entah bagaimana caranya kami berhasil
membuatnya menyerah,
Hari Senin di minggu setelah perdebatan itu aku dan Rei resmi
dipindahkan ke kelas yang sama dengan Annet, Lea dan Ace.
“Udah puas?” tanya Rei saat kami berjalan kembali ke asrama hari itu.
“Banget!” jawabku semangat “Makasih lho, udah mau ikut dalam rencana
gilaku.” kataku sambil menggandeng tangan Rei “Ya tentu saja kalian juga!”
kataku sambil berbalik ketiga orang yang berjalan di belakang kami.
“Iya deh, terserah.” kata Ace cuek.
“Mestinya kamu bayar mahal ke kita.” tambah Annet.
“Iya, tuh. Kamu ngutang sama kita. Utangmu jatuh tempo pas libur
selanjutnya, ya.” kata Lea.
“Iya, iya. Asal aku bisa terus sama kalian, berapa juga aku kasih!”
kataku sambil tertawa.
“Sok bener, awas lho nanti ingkar janji, bukannya sama kita tapi
perginya malah sama Rei.” kata Lea dan disetujui oleh Annet.
“Tenang, nggak bakal, kok.” kataku berusaha meyakinkan mereka tapi yang
kudapat malah tatapan tidak percaya mereka.
Ya sudahlah, setidaknya aku akan bersama mereka sampai lulus, mungkin,
karena kepala sekolah pasti sudah tidak mau berurusan dengan keegoisan kami,
lebih tepatnya aku, sih. Yang jelas aku akan menjalani sisa kehidupan sekolahku
di sini dengan mereka, aku tahu kedepannya tidak selamanya akan menyenangkan,
pasti akan ada satu atau dua kerikil yang akan merusak kebahagiaan, tapi tidak
apa-apa, aku punya mereka yang akan menemaniku saat kerikil-kerikil itu muncul
di perjalanan ini.
END
No comments:
Post a Comment