Tuesday, December 31, 2013

Resolusi 2014

so, sebetulnya sama sekali nggak ada niat buat ngepost hari ini, tapi kemaren habis ketemuan sama 2 orang gendeng yang entah gimana punya ide gila supaya kita ngepost resolusi kita tahun depan, so here I go.
1. keep making my parents proud
2. mempertahankan rekor nilai semester 1
3. bisa main instrumen apapun itu
4. rajin kejar deadline, seenggaknya mulai bulan 2
5. mulai kerja part-time
6. lebih jago menggambar
7. make more friends (or maybe enemies)
8. keep this special feeling for that beloved one alive.
Happy New Year 2014, greetings from Dream Land ☺

Thursday, December 12, 2013

Wherever You Are Part 5



Setelah malam itu, terlebih setelah inagurasi yang berakhir dengan sukses, entah hanya perasaanku saja atau bagaimana, aku lebih sering menghabiskan waktuku dengan Sora. Hiro sibuk dengan Akane, Tsubaki juga sibuk dengan Sendal, saat sadar orang yang tinggal di sisiku hanya Sora saja.
“Makan, yuk, lapar, nih.” katanya setelah kelas terakhir hari itu selesai.
“Ayo, dimana?” tanyaku.
“Di tempat yang waktu itu aja.”
“Cuma kita berdua?”
“Iyalah”
“Tsubaki? Hiro?”
“Lagi asik sendiri sama dunianya, lagian hari ini aku mau kita cuma berdua aja.”
Mampus, kali ini kenapa lagi? “Lho? Kenapa? Tumben.” kataku sembil berusaha untuk tetap kalem.
“Aku mau ngomong sama kamu.” dari sini perasaanku mulai aneh, entah kenapa, tapi aku merasa ini sesuatu yang akan merubah sesuatu tapi aku tidak tahu apa.
Sepanjang jalan kami hanya diam, saat sampai di tujuan aku pergi memesan makanan dan Sora pergi mencari tempat duduk, saat itu tempat itu memang sedang ramai jadi agak sulit mendapatkan tempat.
Aku mendapati Sora duduk di sebuah kursi di pojok sambil melihat ke luar, bedanya dengan yang dulu, kali ini meja itu ada di dekat jendela dan hanya ada dua buah kursi disitu.
“Bagus banget posisinya, yang dulu pemandangannya terlalu hampa.” kataku sambil menaruh makanan lalu duduk di kursi kosong yang tersisa.
“Kan kemarin berempat jadi nggak bisa duduk disini.” kata Sora lalu dia mengalihkan perhatiannya padaku.
“Jadi? Kenapa? Mau ngomong, kan? Sekarang aja, mumpung belum sibuk mengunyah dan menelan.” kataku sambil tertawa tapi Sora tidak, dia justru memasang ekspresi serius.
“Tapi tolong jangan marah, kecewa, apalagi menjauh karena ini.”
“Iya, ngomong aja, nggak apa-apa.” dan entah mengapa detak jantungku menjadi lebih cepat.
“Dulu, aku pernah bilang, kan kalau aku suka sama seseorang di kelas kita, kan? Aku mau coba nembak dia pakai ini.” kata Sora sambil memasangkan headset-nya di kupingku.
Aku mendengar suara gitar, sebuah intro dari lagu yang familiar bagiku, aku tahu ini hanya versi acoustic karena hanya suara gitar itu yang terdengar, yang membuatku kaget adalah saat vokalnya mulai masuk.
“Sora, ini…”
“Tolong, dengarkan sampai habis dulu.” pintanya, aku hanya menurut.
Lagu itu, Wherever You Are dari band One Ok Rock, aku sangat menyukai lagu itu, aku bahkan pernah berkhayal seseorang akan menyanyikannya untukku. Aku tahu kalau Sora jago bermain gitar tapi aku tidak pernah menyangka kalau sampai seperti ini, terdengar sempurna di kupingku.
Kupikir saat lagunya berakhir rekaman ini juga akan berakhir, tapi ternyata aku salah, ada suara lagi setelah itu. Suara Sora.
“Gimana? Aku latihan mati-matian, lho biar bisa begitu. Keren nggak? Aku bakal nembak cewek yang kusuka pakai lagu ini.” sama seperti apa yang Sora katakan sebelum dia memperdengarkan rekaman ini padaku.
“Jadi begini, aku suka sama seseorang, dia benar-benar orang yang menarik, sangat gampang membuatnya tertawa, tapi sangat gampang juga membuatnya menangis. Dia seperti anak kecil, sangat kekanakan. Dia suka sama sahabatku, dia selalu curhat sama aku soal sahabatku itu, saat itu aku belum menyukainya seperti sekarang ini yang membuatku tidak bisa memikirkan hal lain selain dia, saat itu aku justru suka sama sahabatnya yang juga teman masa kecilku, dia menyemangatiku untuk menyatakan perasaanku padanya biarpun akhirnya tidak seperti yang kuinginkan, tapi karena itu aku jadi menyadari perasaanku untuknya.” aku hanya terdiam mendengarnya, kulihat di HP Sora kalau rekaman ini masih ada durasi yang tersisa.
“Untuk bisa bersama dengannya aku terus menerus memaksa sahabatku dan teman masa kecilku untuk menemaniku pergi dengannya, hari itu aku bahkan berfoto berdua dengannya, biarpun jujur saja aku sangat malu saat itu, pasti aku sama sekali tidak terlihat keren di matanya. Hari itu, kutahu kalau dia sudah tidak menyukai sahabatku, katanya itu hanya rasa kagum saja, aku merasa agak lega karena tidak harus bersaing dengan sahabatku tapi hari itu juga aku tahu kalau dia menyukai orang lain dan dia tidak mau memberi tahuku siapa orang itu. Sahabatku mengatur supaya aku pergi dan pulang dengannya hari itu, sepanjang jalan aku tertawa dengannya, aku merasa sangat senang, aku berharap saat itu waktu berhenti, aku bahkan berharap bisa pergi lagi dengannya bahkan kalau perlu berdua saja karena itu aku memanggilnya hari ini.”
Eh? Tunggu dulu, ini jangan-jangan…
“Aku sangat ingin mengatakan yang sebetulnya kalau aku…” lalu rekaman itu berhenti.
“Suka sama kamu, will you be my girl?” Sora menyambung rekaman yang putus itu, aku bahkan tidak mempercayai kupingku.
“Eh? Aku? Nggak salah? Aku bukan Tsubaki…” aku merasa air mataku bisa jatuh kapan saja ke makanan yang tidak pernah tersentuh sejak tadi.
“Ya, kamu bukan Tsubaki, kamu Riko, cewek yang membuatku membuang semuanya untuk bisa bersamamu…” kata Sora sambil menatap lurus ke mataku “…aku memang seperti ini, lebih banyak kurang daripada lebih, tapi apa kamu bisa terima aku?”
Aku mulai menangis, awalnya hanya beberapa tetes lalu mengalir semakin deras.
“Ya, aku terima semua bagian dari dirimu, aku mau jadi pacarmu.” jawabku sambil menunduk.
“Serius? Senangnya, kalau begini jadinya, kalau Hiro dan Tsubaki sibuk dengan pacar masing-masing kita nggak akan tersisihkan lagi, ya.” kata Sora sambil tertawa setelah itu dia menghapus air mata yang tersisa di mata dan pipiku.
Tawa itu, senyum itu, tatapan itu, suara itu, sekarang itu semua menjadi milikku, aku tidak akan sendiri lagi saat teman-temanku sibuk dengan urusan cinta mereka, aku juga akan memulai ceritaku sendiri.
Disini, denganmu.
THE END

Wherever You Are Part 4



Seminggu setelah pengakuan itu, aku baru saja akan pulang saat Tsubaki entah bagaimana memikirkan ide gila yang benar-benar membuatku shock sore itu.
“Pergi, yuk” ajaknya.
“Kemana? Tenagaku sudah habis, nih.”
“Cuma pergi makan aja, kok.”
“Capek banget, nih, inagurasinya tinggal 3 hari lagi jadi hari ini aku all out, sekarang udah di batas hidup sama mati.” kataku berlebihan.
“Kalau misalnya aku bilang kalau Hiro sama Sora juga pergi, kamu tetap akan menolak?”
Aku berpikir beberapa saat sebelum menjawab, “…….. ya udah, aku juga ikut, deh, cuma makan aja, kan?”
“Oke, deal, ya? Ayo, hari ini naik motor aja, ya, mumpung Hiro juga bawa, kamu sama Sora nanti biar aku yang sama Hiro.” kata Tsubaki sambil menarikku ke arah parkiran motor.
“Eh? Nggak usah!” kataku sambil terus berusaha untuk lepas tapi pada akhirnya kalah juga.
“Sorry, lama nunggu, ya?” tanya Tsubaki pada dua orang di depanku yang sudah siap duduk di atas motor masing-masing, Sora yang menjawab pertanyaan Tsubaki.
“Nggak juga, cuma 5 menit, eh, Tsubaki kamu…” omongan Sora terpotong karena Tsubaki sudah pergi duluan untuk duduk di jok belakang Hiro.
“Ayo Riko, cepat naik! Supaya bisa cepat pulang terus tidur.” kata Tsubaki sambil berkedip padaku.
Aku dan Sora hanya bisa diam saat itu, sampai benar-benar sadar apa yang sudah dilakukan Tsubaki dan Hiro dan Tsubaki sudah tidak ada, Sora lalu memakai helmnya dan menepuk jok belakang motornya.
“Naik sini.” katanya lalu menyerahkan helmnya yang lain padaku.
“Pegangan yang kencang, ya, kita akan menyusul dua orang itu.” lalu motor Sora mulai melaju kencang untuk mengejar Hiro dan Tsubaki.
Kami berhasil menyusul mereka di lampu merah dekat kampus, Sora lalu memposisikan motornya di sebelah motor Hiro.
“Jahat, ya, kita masih siap-siap kalian langsung kabur, padahal Tsubaki yang mengajak.” kata Sora.
“Habis kalian lama banget, udah lapar level dewa kalian malah lambat, gimana, sih.” keluh Tsubaki.
“Ah, udah hijau, tuh lampunya, kebut lagi Sora!” teriakku dari belakang dan tanpa di perintah dua kali Sora sudah menjalankan motornya sampai jauh dari motor Hiro.
***
Aku dan Sora yang sampai lebih dulu di sebuah restoran fast food, mencari tempat duduk dan menemukan sebuah meja untuk empat orang di bagian pojok dan duduk disitu sambil menunggu Hiro dan Tsubaki, aku duduk di kursi yang rapat ke tembok dan Sora duduk di sebelahku, selama beberapa saat aku sibuk dengan pikiranku sendiri sampai Sora membuyarkannya.
“Riko, ini cuma perasaanku saja atau kamu memang sudah tidak pernah membahas soal Hiro lagi? Setiap lagi bareng kayak sekarang, di SMS atau social media kamu nggak pernah bahas dia lagi.” kata Sora.
Mati aku, mesti bilang apa? Nggak mungkin, kan aku bilang kalau aku sudah nggak pernah tanya soal Hiro lagi karena aku sekarang suka sama Sora?
“Ngg… gimana, ya? Kalau boleh jujur, sih, aku sebetulnya sudah nggak suka lagi sama Hiro, mungkin perasaanku untuk Hiro itu cuma rasa kagum saja.” kataku tanpa bisa melihat langsung ke Sora.
“Eh? Serius? Jadi sekarang kamu sukanya sama siapa?” tanya Sora.
Belum sempat aku menjawab pertanyaan itu Hiro dan Tsubaki datang, aku langsung menariknya untuk pergi memesan makanan, tentu saja setelah bertanya apa yang diinginkan kedua orang itu.
“Makasih, Tsubaki.” kataku.
“Eh? Buat apa?” tanya Tsubaki dengan ekspresi tidak mengerti.
“Tadi aku bilang sama Sora kalau aku sudah tidak suka lagi sama Hiro, pas dia bertanya siapa orangnya kamu dan Hiro datang, makasih banget, ya.”
“Untunglah, kalau terlambat datang satu menit saja bisa di skak mat kamu disitu.” kata Tsubaki, lalu kami meneruskan mengobrol sampai antrian di depan kami habis.
“Maaf, nunggu, nih habisin.” kata Tsubaki sambil menaruh makanan di meja kami.
Sambil makan kami bercerita tentang apa saja, jurusan kami, persiapan inagurasi, bahkan soal status hati kami saat ini.
“Eh, Hiro kemarin kamu nembak Akane, kan? Gimana?” tanya Sora.
“Diterima dong! Padahal dulu sebelum persiapan inagurasi katanya dia nggak bisa.” jawab Hiro.
“Eh? Gimana, nih, Riko? Hiro-mu di ambil, tuh.” kata Sora sambil menyikut lenganku.
“Apaan, sih Sora! Kan tadi aku udah bilang kalau itu cuma kagum saja. Iya, kan, Hiro?” kataku sambil mencoba mencari pembelaan.
Yup, Hiro tahu kalau aku “tadinya” suka sama dia, pada dasarnya semua temanku di jurusan tahu soal itu, sekarang sih cuma dijadikan bahan lelucon saja.
“Iya, dia udah move on, ke seseorang yang lebih dekat sama dia.” timpal Tsubaki.
“Ya…ya… bully saja aku terus-terusan, aku ngambek, lho.” kataku, lalu kami semua tertawa.
Sebelum pulang, kami mengambil beberapa foto kami berempat dan sepertinya iblis di dalam Tsubaki hari ini sedang sangat aktif, lagi-lagi dia mengajukan ide gila.
“Eh, foto berdua-berdua, yuk, kan lumayan nanti kita dikira habis double date.” katanya sambil memegang HP-ku yang paling terzalimi malam itu karena mengambil terlalu banyak foto.
Aku memotret Hiro dan Tsubaki beberapa kali, aku lihat Sora sudah mulai bosan dan Tsubaki juga sepertinya melihat ekspresi bosan itu, dia lalu mengambil HP-ku.
“Sekarang giliran kalian, awas kalau nggak kelihatan kayak lagi nge-date.”
Setelah Tsubaki puas mengambil foto, kami pulang masih dengan formasi yang sama dengan saat pergi.
“Rumah kalian berdua searah, kan? Aku sama Hiro mau mampir sebentar ke suatu tempat, Sora kamu harus antar dia sampai rumah, ya, kalau perlu sampai kamarnya sekalian.” kata Tsubaki seperti seorang mandor yang memerintah buruhnya, setelah naik ke motor kami berpisah karena mengambil jalan yang berbeda.
“Tsubaki hari ini aktif banget, ya. Kenapa, sih?” tanya Sora setelah motornya sudah melaju agak jauh.
“Entahlah, obatnya habis kali.” jawabku dan kami tertawa.
“Oh, iya, tadi kepotong, kamu belum jawab pertanyaanku, siapa orang yang kamu suka sekarang?”
Lagi-lagi pertanyaan ini, entah bagaimana aku harus menjawabnya.
“Coba tebak, kan nggak seru kalau langsung kusebut.”
“Ngg… anak fakultas kita, kan yang jelas? Jurusannya?”
“Pikir dong!” kataku menantang, selama beberapa saat kami diam, Sora memikirkan siapa orang yang kusukai, aku memikirkan apa yang harus kulakukan kalau dia sampai tahu, tapi aku sangat ingin melihat reaksinya.
“Hei, kalau kubilang orang yang kusuka itu Sora, kira-kira bagaimana?” tanyaku.
“Eh? Aku? Entahlah, aku nggak tahu, kalau ada seseorang di kelas yang sama suka sama aku, aku nggak tahu mesti gimana, tapi kalau aku juga menyukai orang itu pasti akan kuterima, aku tidak mungkin bohong pada diriku sendiri.” jawabnya.
“Apa ada anak di kelas kita yang kamu suka?”
“Kalau boleh jujur, sih. Iya, ada, dan orang itu bukan Tsubaki.”
“Eh? Siapa? Kasih tahu dong!” tuntutku.
“Pikir, dong. Nggak seru kalau langsung kusebut.” balas Sora sambil tertawa.
“Ih, ambil kata-kataku lagi, apaan, sih, bego!” kataku sambil bercanda memukul pundak Sora.
Setelah itu kami bercanda sepanjang jalan, hal itu tidak dibahas lagi, tanpa disadari kami sudah sampai di depan rumahku.
“Sudah sampai, nih, bayar!” kata Sora sambil menjulurkan tangannya.
“Apaan, emangnya kamu tukang ojek? Nih ambil balik helmmu.” kataku sambil mengembalikan helm Sora dan berjalan masuk ke rumah, lalu aku berbalik.
“Makasih buat hari ini, aku senang banget, lho. Lain kali kita pergi lagi, ya.” …kalau bisa berdua saja. Aku sangat ingin mengatakannya tapi aku tidak bisa.
“Sama-sama, aku juga senang, kok.” balasnya “…apalagi bisa menguras habis isi dompet Hiro, aku senang sekali.” lanjutnya lalu kami tertawa lagi.
Okay, then, see you tomorrow, be careful on your way home, good night.” kataku.
You too, have a nice dream.” balasnya lalu Sora kembali memakai helmnya dan mulai melaju meninggalkan rumahku, aku menunggu sampai dia hilang di sebuah belokan baru aku masuk kedalam rumah.

Wherever You Are Part 3



Setelah “Hari Penolakan” itu, aku masih sering mendapati Sora berbicara dengan Tsubaki seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka, mungkin itu enaknya jatuh cinta dengan sahabat sendiri karena mereka punya banyak hal lain yang bisa dibicarakan dan mereka walau mungkin hanya sesaat bisa lupa tentang perasaan mereka, lagipula saat ini mungkin baik Sora maupun Tsubaki tidak punya waktu untuk memikirkan hal itu karena saat ini kami sedang disibukkan dengan persiapan untuk inagurasi fakultas, aku dan Tsubaki mendapat tugas di bagian dekorasi, menyipakan panggung dan hal-hal lain seperti itu, sedangkan Sora dan Hiro di bagian perkusi.
Suatu hari, saat aku dan Tsubaki sedang beristirahat di kantin entah kenapa Tsubaki membahas soal Sora bukan Sendal seperti biasanya.
“Kamu tahu nggak? Kayaknya Sora udah move on, deh, dia naksir anak kelas kita” kata Tsubaki.
“Eh? Masa? Siapa?” untung aku sedang tidak sedang mengunyah apa-apa, aku yakin pasti akan tersedak karena shock “Cepat banget!” kataku.
“Teman sekelas kita, kok, Akane.” kata Tsubaki sambil tetap sibuk dengan makanannya.
Akane? Eh? Tunggu dulu…
“Bukannya Hiro suka sama Akane?” tanyaku.
“Nah, itu dia. Si bodoh Sora itu sudah jelas-jelas tahu sahabatnya suka sama Akane tapi dia malah suka sama Akane, kalau aku, sih, ya, lebih suka kalau Sora jadian sama Riko saja” jawab Tsubaki ringan tapi berhasil membuatku tersedak es teh yang baru saja kuminum.
“Eh? Kenapa?” tanyaku gugup, untuk alasan yang tidak jelas, padahal ini soal Sora bukan Hiro.
“Ya enggak apa-apa, toh kalian dekat, sering bareng di kelas, kalian sama-sama pintar.”
“Terus kenapa? Kan kamu tahu aku suka sama Hiro.” kataku.
“Iya, sih. Ya sudahlah” dan pembicaraan hari itu berhenti sampai disitu tapi pikiranku tidak, bahkan selama beberapa hari setelah itu aku masih memikirkan kata-kata Tsubaki. Dan malam itu, aku menyadari sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak mau dan tidak akan percaya.
Aku telah jatuh cinta pada Sora.
***
Tiga hari setelah hari itu, saat aku dan Tsubaki sedang mengerjakan panggung untuk inagurasi, tubuhku ada di lapangan mengerjakan panggung tapi pikiranku ada di tempat lain, “Mungkin aku harus bicara soal ini dengan Tsubaki.” pikirku.
Saat pekerjaan sudah menipis dan sudah ada celah untuk mengobrol aku membawa properti-properti kecil yang sedang kukerjakan dan duduk di dekat Tsubaki.
“Kenapa? Hari ini kalem banget, kangen sama Hiro, ya?” tanya Tsubaki.
“Bukan itu, aku mau cerita soal sesuatu.” kataku.
“Ya udah, silakan.”
“Kayaknya aku udah berhasil move on dari Hiro.”
“Eh? Serius? Bagus, dong, kali ini siapa?” kata Tsubaki sambil tetap bekerja
“Terus begini, aku suka sama seseorang tapi orang itu suka sama sahabatku, dia udah pernah nembak sahabatku itu tapi dia ditolak, padahal waktu itu aku yang paling ngedukung dia buat nembak tapi sekarang malah aku yang suka sama dia.”
”Sahabatmu ini nolak habis-habisan?”
“Iya, karena katanya dia nggak pernah menganggap cowok itu lebih dari sahabat.”
“Siapa, sih orangnya? Bilang dong, penasaran, nih.”
“Itu dia masalahnya, aku jadi nggak enak, nih ngomongnya.” kataku malu-malu.
“Siapa, sih? Sok main rahasia begitu.”
“Aku nggak bisa bilang”
“Apa perlu aku sebut satu persatu nama anak cowok di kelas kita?”
“Nggak usah repot-repot” kataku semakin merasa tertekan.
“Ya udah, aku bisikin aja, deh, tapi kalau benar, kamu jangan mengelak, ya.” kata Tsubaki sambil tersenyum.
“Iya.”
“Sora, kan?”
Mendadak aku merasa mukaku menjadi panas, pasti sekarang aku terlihat seperti kepiting rebus, dan sesuai janji aku tidak mengelak.
“Iya.” kataku pelan dan kepalaku menunduk.
“Sudah kuduga, habis kamu bilang dia suka sama sahabatmu tapi sahabatmu nolak habis-habisan, itu soal aku sama Sora, kan? Akhirnya, sejak kapan?”
“Aku baru nyadar waktu kamu bilang Sora lebih baik sama aku… mungkin.” kataku masih tetap dengan suara yang tertahan.
“Kalau gitu bukannya jadi lebih gampang? Kalian sudah akrab, tinggal gimana caranya supaya kalian bisa jadian.”
“Nggak segampang itu, justru karena udah akrabnya itu, lho, kalau dia sampai tahu perasaanku dia pasti bakal menjauh.” kataku sambil mengerjakan properti yang sempat kuambil tadi.
“Jadi? Maunya gimana?”
“Biarkan saja seperti ini.”

Wednesday, December 11, 2013

Wherever You Are Part 2



“Terus? Gimana? Traktirannya mana?” tagihku pada Sora 2 hari setelah itu.
“Belum. Aku udah nembak, yang kemarin semuanya udah aku kasih, tapi dia minta aku buat kasih dia waktu buat menjawab.” jawabnya.
“Ya iyalah, jangan desak dia, yang ada nanti hasilnya nggak sesuai keinginan.” kataku.
“Iya, aku tahu, kok.”
Hari itu juga, aku terus-terusan jadi konsultan cinta buat Tsubaki, dia bingung harus melakukan apa.
“Gimana nih Riko? Aku nggak tahu mesti jawab apa, Sora itu temanku sejak kecil, sampai saat ini aku nggak pernah menganggap dia lebih dari sahabatku” katanya.
“Jadi? Kamu maunya gimana?” tanyaku.
“Mungkin aku bakal nolak dia, tapi aku takut nanti aku sama dia bakal awkward, aku nggak mau kehilangan orang yang udah nemenin aku dari dulu.”
“Kalau mau gampang, ini cuma pendapatku, sih, ikutin aja kata hatimu, lagian aku tahu kok kamu pasti bakal nolak Sora, kan kamu punya si itu.” kataku dengan nada menggoda.
“Jangan ribut Rikoooo!!!” teriaknya sambil mencubit lenganku, aku hanya bisa tertawa.
Aku tahu, Tsubaki saat ini tidak bisa menerima Sora, mungkin bisa biarpun aku tidak tahu berapa persen peluangnya karena Tsubaki menyukai orang lain, teman jurusanku juga, yang tahu soal ini cuma aku dan supaya tidak ketahuan oleh orang lain namanya disamarkan menjadi Sendal.
Sendal ini, sepertinya juga cukup tertarik dengan Tsubaki, mereka sering kontak entah lewat telepon, SMS atau social media, mereka juga sering pergi berdua entah kemana, bisa dibilang hubungan mereka cukup baik tinggal menunggu waktu saja.
“Mungkin sebaiknya jawabannya kutahan dulu, aku benar-benar nggak bisa lihat gimana jadinya nanti setelah aku menolak Sora.”
“Ya udah, nggak apa-apa, Tsubaki yang punya hak untuk memilih mau bagaimana.” jawabku.
***
Sebulan setelah itu, Tsubaki masih belum menjawab pernyataan cinta Sora. Sora terus bertanya padaku tentang Tsubaki, memberi pernyataan-pernyataan absurd tentang alasan kenapa Tsubaki belum menjawab sampai saat ini,yang entah dari mana dia dapat, artinya aku jadi lebih sering menghabiskan waktuku dengan Sora.
“Mungkin dia nggak suka sama aku” kata Sora suatu hari saat kami sedang mengerjakan tugas di kelas.
“Siapa bilang?” tanyaku sambil tetap menulis “Dia nggak berani, setiap hari dia tanya soal Sora, kok, katanya Sora sekarang berubah udah nggak pernah cari-cari Tsubaki lagi, katanya Sora jadi terasa jauh.”
“Tapi sampai sekarang dia belum jawab, dia malah menjauh.”
“Oh, iya, katanya nanti Tsubaki mau ketemu buat kasih jawaban.” jawabku, dan ini benar, tadi malam Tsubaki mengirim SMS yang memintaku untuk memanggil Sora hari ini.
“Semoga saja seperti yang kuharapkan.”
“Semoga, ingat traktirannya, ya.” kataku. Maaf, Sora, mungkin hari ini kamu akan kecewa. Mungkin kamu akan marah padaku setelah ini. Maaf.
Sore itu, aku menemani Tsubaki sampai ke tempat dimana dia akan bertemu Sora, setelah mereka berdua bertemu aku menunggu mereka selesai tidak jauh dari sana.
“Lho? Riko ngapain disini?” kata sebuah suara yang berasal dari belakangku saat berbalik ke belakang…
“Hiro? Nggak ngapa-ngapain, Hiro sendiri ngapain disini?” tanyaku balik kepada Hiro.
“Aku lagi cari Sora, kamu lihat?”
“Sora? Itu lagi disana ngobrol sama Tsubaki.” kataku sambil melihat ke arah Sora dan Tsubaki.
“Pasti lagi ngelurusin masalah hati. Ya udah, aku disini aja sama kamu sampai mereka selesai.” kata Hiro lalu dia duduk di sebelahku dan anehnya, aku tidak merasakan apa-apa, aku justru bisa ngobrol biasa dengan Hiro.
“Ah, sepertinya urusan mereka sudah selesai, kesana yuk” ajak Hiro saat Sora dan Tsubaki sudah berdiri, aku lalu pergi dengan Tsubaki ke tempat dimana kami bisa membahas kelanjutan “kasus” ini dan Hiro menarik Sora pergi entah kemana.
“Terus? Gimana?” tanyaku setelah Tsubaki tidak kunjung bicara juga, saat itu kami sedang duduk di kantin fakultas kami.
“Ya gitu, aku udah nolak dia, maunya balik kayak dulu lagi, sih jadi aku bilang sama dia nggak boleh ada istilah awkward di antara kita, aku tahu kedengarannya egois tapi seperti yang kubilang sebelumnya aku nggak pernah mau kehilangan Sora, dia sahabatku yang sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri.” jawab Tsubaki.
Dan setelah itu semua berjalan lagi seperti biasa, Sora yang masih memikirkan Tsubaki, Tsubaki yang tambah dekat sama Sendal, yang berubah mungkin hanya aku, aku entah sejak kapan sudah tidak pernah memikirkan Hiro lagi, karena tanpa kusadari ada orang lain yang sudah menggantikan posisi Hiro.