Seminggu setelah pengakuan itu, aku baru saja akan
pulang saat Tsubaki entah bagaimana memikirkan ide gila yang benar-benar
membuatku shock sore itu.
“Pergi, yuk” ajaknya.
“Kemana? Tenagaku sudah habis, nih.”
“Cuma pergi makan aja, kok.”
“Capek banget, nih, inagurasinya tinggal 3 hari lagi
jadi hari ini aku all out, sekarang udah di batas hidup sama mati.” kataku
berlebihan.
“Kalau misalnya aku bilang kalau Hiro sama Sora juga
pergi, kamu tetap akan menolak?”
Aku berpikir beberapa saat sebelum menjawab, “…….. ya
udah, aku juga ikut, deh, cuma makan aja, kan?”
“Oke, deal, ya? Ayo, hari ini naik motor aja, ya,
mumpung Hiro juga bawa, kamu sama Sora nanti biar aku yang sama Hiro.” kata
Tsubaki sambil menarikku ke arah parkiran motor.
“Eh? Nggak usah!” kataku sambil terus berusaha untuk
lepas tapi pada akhirnya kalah juga.
“Sorry, lama nunggu, ya?” tanya Tsubaki pada dua orang
di depanku yang sudah siap duduk di atas motor masing-masing, Sora yang
menjawab pertanyaan Tsubaki.
“Nggak juga, cuma 5 menit, eh, Tsubaki kamu…” omongan
Sora terpotong karena Tsubaki sudah pergi duluan untuk duduk di jok belakang
Hiro.
“Ayo Riko, cepat naik! Supaya bisa cepat pulang terus
tidur.” kata Tsubaki sambil berkedip padaku.
Aku dan Sora hanya bisa diam saat itu, sampai
benar-benar sadar apa yang sudah dilakukan Tsubaki dan Hiro dan Tsubaki sudah
tidak ada, Sora lalu memakai helmnya dan menepuk jok belakang motornya.
“Naik sini.” katanya lalu menyerahkan helmnya yang
lain padaku.
“Pegangan yang kencang, ya, kita akan menyusul dua
orang itu.” lalu motor Sora mulai melaju kencang untuk mengejar Hiro dan
Tsubaki.
Kami berhasil menyusul mereka di lampu merah dekat
kampus, Sora lalu memposisikan motornya di sebelah motor Hiro.
“Jahat, ya, kita masih siap-siap kalian langsung kabur,
padahal Tsubaki yang mengajak.” kata Sora.
“Habis kalian lama banget, udah lapar level dewa
kalian malah lambat, gimana, sih.” keluh Tsubaki.
“Ah, udah hijau, tuh lampunya, kebut lagi Sora!”
teriakku dari belakang dan tanpa di perintah dua kali Sora sudah menjalankan
motornya sampai jauh dari motor Hiro.
***
Aku dan Sora yang sampai lebih dulu di sebuah restoran
fast food, mencari tempat duduk dan
menemukan sebuah meja untuk empat orang di bagian pojok dan duduk disitu sambil
menunggu Hiro dan Tsubaki, aku duduk di kursi yang rapat ke tembok dan Sora
duduk di sebelahku, selama beberapa saat aku sibuk dengan pikiranku sendiri
sampai Sora membuyarkannya.
“Riko, ini cuma perasaanku saja atau kamu memang sudah
tidak pernah membahas soal Hiro lagi? Setiap lagi bareng kayak sekarang, di SMS
atau social media kamu nggak pernah bahas dia lagi.” kata Sora.
Mati aku,
mesti bilang apa? Nggak mungkin, kan aku bilang kalau aku sudah nggak pernah
tanya soal Hiro lagi karena aku sekarang suka sama Sora?
“Ngg… gimana, ya? Kalau boleh jujur, sih, aku
sebetulnya sudah nggak suka lagi sama Hiro, mungkin perasaanku untuk Hiro itu
cuma rasa kagum saja.” kataku tanpa bisa melihat langsung ke Sora.
“Eh? Serius? Jadi sekarang kamu sukanya sama siapa?”
tanya Sora.
Belum sempat aku menjawab pertanyaan itu Hiro dan
Tsubaki datang, aku langsung menariknya untuk pergi memesan makanan, tentu saja
setelah bertanya apa yang diinginkan kedua orang itu.
“Makasih, Tsubaki.” kataku.
“Eh? Buat apa?” tanya Tsubaki dengan ekspresi tidak
mengerti.
“Tadi aku bilang sama Sora kalau aku sudah tidak suka
lagi sama Hiro, pas dia bertanya siapa orangnya kamu dan Hiro datang, makasih
banget, ya.”
“Untunglah, kalau terlambat datang satu menit saja
bisa di skak mat kamu disitu.” kata Tsubaki, lalu kami meneruskan mengobrol
sampai antrian di depan kami habis.
“Maaf, nunggu, nih habisin.” kata Tsubaki sambil
menaruh makanan di meja kami.
Sambil makan kami bercerita tentang apa saja, jurusan
kami, persiapan inagurasi, bahkan soal status hati kami saat ini.
“Eh, Hiro kemarin kamu nembak Akane, kan? Gimana?”
tanya Sora.
“Diterima dong! Padahal dulu sebelum persiapan
inagurasi katanya dia nggak bisa.” jawab Hiro.
“Eh? Gimana, nih, Riko? Hiro-mu di ambil, tuh.” kata
Sora sambil menyikut lenganku.
“Apaan, sih Sora! Kan tadi aku udah bilang kalau itu
cuma kagum saja. Iya, kan, Hiro?” kataku sambil mencoba mencari pembelaan.
Yup, Hiro
tahu kalau aku “tadinya” suka sama dia, pada dasarnya semua temanku di jurusan
tahu soal itu, sekarang sih cuma dijadikan bahan lelucon saja.
“Iya, dia udah move on, ke seseorang yang lebih dekat
sama dia.” timpal Tsubaki.
“Ya…ya… bully saja aku terus-terusan, aku ngambek,
lho.” kataku, lalu kami semua tertawa.
Sebelum pulang, kami mengambil beberapa foto kami
berempat dan sepertinya iblis di dalam Tsubaki hari ini sedang sangat aktif,
lagi-lagi dia mengajukan ide gila.
“Eh, foto berdua-berdua, yuk, kan lumayan nanti kita
dikira habis double date.” katanya
sambil memegang HP-ku yang paling terzalimi malam itu karena mengambil terlalu
banyak foto.
Aku memotret Hiro dan Tsubaki beberapa kali, aku lihat
Sora sudah mulai bosan dan Tsubaki juga sepertinya melihat ekspresi bosan itu,
dia lalu mengambil HP-ku.
“Sekarang giliran kalian, awas kalau nggak kelihatan
kayak lagi nge-date.”
Setelah Tsubaki puas mengambil foto, kami pulang masih
dengan formasi yang sama dengan saat pergi.
“Rumah kalian berdua searah, kan? Aku sama Hiro mau
mampir sebentar ke suatu tempat, Sora kamu harus antar dia sampai rumah, ya,
kalau perlu sampai kamarnya sekalian.” kata Tsubaki seperti seorang mandor yang
memerintah buruhnya, setelah naik ke motor kami berpisah karena mengambil jalan
yang berbeda.
“Tsubaki hari ini aktif banget, ya. Kenapa, sih?”
tanya Sora setelah motornya sudah melaju agak jauh.
“Entahlah, obatnya habis kali.” jawabku dan kami
tertawa.
“Oh, iya, tadi kepotong, kamu belum jawab pertanyaanku,
siapa orang yang kamu suka sekarang?”
Lagi-lagi
pertanyaan ini, entah bagaimana aku harus menjawabnya.
“Coba tebak, kan nggak seru kalau langsung kusebut.”
“Ngg… anak fakultas kita, kan yang jelas? Jurusannya?”
“Pikir dong!” kataku menantang, selama beberapa saat
kami diam, Sora memikirkan siapa orang yang kusukai, aku memikirkan apa yang
harus kulakukan kalau dia sampai tahu, tapi aku sangat ingin melihat reaksinya.
“Hei, kalau kubilang orang yang kusuka itu Sora,
kira-kira bagaimana?” tanyaku.
“Eh? Aku? Entahlah, aku nggak tahu, kalau ada
seseorang di kelas yang sama suka sama aku, aku nggak tahu mesti gimana, tapi
kalau aku juga menyukai orang itu pasti akan kuterima, aku tidak mungkin bohong
pada diriku sendiri.” jawabnya.
“Apa ada anak di kelas kita yang kamu suka?”
“Kalau boleh jujur, sih. Iya, ada, dan orang itu bukan
Tsubaki.”
“Eh? Siapa? Kasih tahu dong!” tuntutku.
“Pikir, dong. Nggak seru kalau langsung kusebut.”
balas Sora sambil tertawa.
“Ih, ambil kata-kataku lagi, apaan, sih, bego!” kataku
sambil bercanda memukul pundak Sora.
Setelah itu kami bercanda sepanjang jalan, hal itu
tidak dibahas lagi, tanpa disadari kami sudah sampai di depan rumahku.
“Sudah sampai, nih, bayar!” kata Sora sambil
menjulurkan tangannya.
“Apaan, emangnya kamu tukang ojek? Nih ambil balik
helmmu.” kataku sambil mengembalikan helm Sora dan berjalan masuk ke rumah,
lalu aku berbalik.
“Makasih buat hari ini, aku senang banget, lho. Lain
kali kita pergi lagi, ya.” …kalau bisa
berdua saja. Aku sangat ingin mengatakannya tapi aku tidak bisa.
“Sama-sama, aku juga senang, kok.” balasnya “…apalagi
bisa menguras habis isi dompet Hiro, aku senang sekali.” lanjutnya lalu kami
tertawa lagi.
“Okay, then, see
you tomorrow, be careful on your way home, good night.” kataku.
“You too, have a
nice dream.” balasnya lalu Sora kembali memakai helmnya dan mulai melaju
meninggalkan rumahku, aku menunggu sampai dia hilang di sebuah belokan baru aku
masuk kedalam rumah.
No comments:
Post a Comment