so, sebetulnya sama sekali nggak ada niat buat ngepost hari ini, tapi kemaren habis ketemuan sama 2 orang gendeng yang entah gimana punya ide gila supaya kita ngepost resolusi kita tahun depan, so here I go.
1. keep making my parents proud
2. mempertahankan rekor nilai semester 1
3. bisa main instrumen apapun itu
4. rajin kejar deadline, seenggaknya mulai bulan 2
5. mulai kerja part-time
6. lebih jago menggambar
7. make more friends (or maybe enemies)
8. keep this special feeling for that beloved one alive.
Happy New Year 2014, greetings from Dream Land ☺
Tuesday, December 31, 2013
Resolusi 2014
Thursday, December 12, 2013
Wherever You Are Part 5
Setelah
malam itu, terlebih setelah inagurasi yang berakhir dengan sukses, entah hanya
perasaanku saja atau bagaimana, aku lebih sering menghabiskan waktuku dengan
Sora. Hiro sibuk dengan Akane, Tsubaki juga sibuk dengan Sendal, saat sadar
orang yang tinggal di sisiku hanya Sora saja.
“Makan,
yuk, lapar, nih.” katanya setelah kelas terakhir hari itu selesai.
“Ayo,
dimana?” tanyaku.
“Di
tempat yang waktu itu aja.”
“Cuma
kita berdua?”
“Iyalah”
“Tsubaki?
Hiro?”
“Lagi
asik sendiri sama dunianya, lagian hari ini aku mau kita cuma berdua aja.”
Mampus, kali ini kenapa lagi? “Lho?
Kenapa? Tumben.” kataku sembil berusaha untuk tetap kalem.
“Aku mau
ngomong sama kamu.” dari sini perasaanku mulai aneh, entah kenapa, tapi aku
merasa ini sesuatu yang akan merubah sesuatu tapi aku tidak tahu apa.
Sepanjang
jalan kami hanya diam, saat sampai di tujuan aku pergi memesan makanan dan Sora
pergi mencari tempat duduk, saat itu tempat itu memang sedang ramai jadi agak
sulit mendapatkan tempat.
Aku
mendapati Sora duduk di sebuah kursi di pojok sambil melihat ke luar, bedanya
dengan yang dulu, kali ini meja itu ada di dekat jendela dan hanya ada dua buah
kursi disitu.
“Bagus
banget posisinya, yang dulu pemandangannya terlalu hampa.” kataku sambil
menaruh makanan lalu duduk di kursi kosong yang tersisa.
“Kan
kemarin berempat jadi nggak bisa duduk disini.” kata Sora lalu dia mengalihkan
perhatiannya padaku.
“Jadi?
Kenapa? Mau ngomong, kan? Sekarang aja, mumpung belum sibuk mengunyah dan
menelan.” kataku sambil tertawa tapi Sora tidak, dia justru memasang ekspresi
serius.
“Tapi
tolong jangan marah, kecewa, apalagi menjauh karena ini.”
“Iya,
ngomong aja, nggak apa-apa.” dan entah mengapa detak jantungku menjadi lebih
cepat.
“Dulu,
aku pernah bilang, kan kalau aku suka sama seseorang di kelas kita, kan? Aku
mau coba nembak dia pakai ini.” kata Sora sambil memasangkan headset-nya di kupingku.
Aku
mendengar suara gitar, sebuah intro dari lagu yang familiar bagiku, aku tahu
ini hanya versi acoustic karena hanya
suara gitar itu yang terdengar, yang membuatku kaget adalah saat vokalnya mulai
masuk.
“Sora,
ini…”
“Tolong,
dengarkan sampai habis dulu.” pintanya, aku hanya menurut.
Lagu itu,
Wherever You Are dari band One Ok Rock, aku sangat menyukai lagu itu, aku
bahkan pernah berkhayal seseorang akan menyanyikannya untukku. Aku tahu kalau
Sora jago bermain gitar tapi aku tidak pernah menyangka kalau sampai seperti
ini, terdengar sempurna di kupingku.
Kupikir
saat lagunya berakhir rekaman ini juga akan berakhir, tapi ternyata aku salah,
ada suara lagi setelah itu. Suara Sora.
“Gimana?
Aku latihan mati-matian, lho biar bisa begitu. Keren nggak? Aku bakal nembak
cewek yang kusuka pakai lagu ini.” sama seperti apa yang Sora katakan sebelum
dia memperdengarkan rekaman ini padaku.
“Jadi begini,
aku suka sama seseorang, dia benar-benar orang yang menarik, sangat gampang
membuatnya tertawa, tapi sangat gampang juga membuatnya menangis. Dia seperti
anak kecil, sangat kekanakan. Dia suka sama sahabatku, dia selalu curhat sama
aku soal sahabatku itu, saat itu aku belum menyukainya seperti sekarang ini
yang membuatku tidak bisa memikirkan hal lain selain dia, saat itu aku justru
suka sama sahabatnya yang juga teman masa kecilku, dia menyemangatiku untuk
menyatakan perasaanku padanya biarpun akhirnya tidak seperti yang kuinginkan,
tapi karena itu aku jadi menyadari perasaanku untuknya.” aku hanya terdiam
mendengarnya, kulihat di HP Sora kalau rekaman ini masih ada durasi yang
tersisa.
“Untuk
bisa bersama dengannya aku terus menerus memaksa sahabatku dan teman masa
kecilku untuk menemaniku pergi dengannya, hari itu aku bahkan berfoto berdua
dengannya, biarpun jujur saja aku sangat malu saat itu, pasti aku sama sekali
tidak terlihat keren di matanya. Hari itu, kutahu kalau dia sudah tidak
menyukai sahabatku, katanya itu hanya rasa kagum saja, aku merasa agak lega
karena tidak harus bersaing dengan sahabatku tapi hari itu juga aku tahu kalau
dia menyukai orang lain dan dia tidak mau memberi tahuku siapa orang itu.
Sahabatku mengatur supaya aku pergi dan pulang dengannya hari itu, sepanjang
jalan aku tertawa dengannya, aku merasa sangat senang, aku berharap saat itu
waktu berhenti, aku bahkan berharap bisa pergi lagi dengannya bahkan kalau
perlu berdua saja karena itu aku memanggilnya hari ini.”
Eh? Tunggu
dulu, ini jangan-jangan…
“Aku
sangat ingin mengatakan yang sebetulnya kalau aku…” lalu rekaman itu berhenti.
“Suka
sama kamu, will you be my girl?” Sora
menyambung rekaman yang putus itu, aku bahkan tidak mempercayai kupingku.
“Eh? Aku?
Nggak salah? Aku bukan Tsubaki…” aku merasa air mataku bisa jatuh kapan saja ke
makanan yang tidak pernah tersentuh sejak tadi.
“Ya, kamu
bukan Tsubaki, kamu Riko, cewek yang membuatku membuang semuanya untuk bisa
bersamamu…” kata Sora sambil menatap lurus ke mataku “…aku memang seperti ini,
lebih banyak kurang daripada lebih, tapi apa kamu bisa terima aku?”
Aku mulai
menangis, awalnya hanya beberapa tetes lalu mengalir semakin deras.
“Ya, aku
terima semua bagian dari dirimu, aku mau jadi pacarmu.” jawabku sambil menunduk.
“Serius?
Senangnya, kalau begini jadinya, kalau Hiro dan Tsubaki sibuk dengan pacar
masing-masing kita nggak akan tersisihkan lagi, ya.” kata Sora sambil tertawa
setelah itu dia menghapus air mata yang tersisa di mata dan pipiku.
Tawa itu,
senyum itu, tatapan itu, suara itu, sekarang itu semua menjadi milikku, aku
tidak akan sendiri lagi saat teman-temanku sibuk dengan urusan cinta mereka,
aku juga akan memulai ceritaku sendiri.
Disini,
denganmu.
THE END
Wherever You Are Part 4
Seminggu setelah pengakuan itu, aku baru saja akan
pulang saat Tsubaki entah bagaimana memikirkan ide gila yang benar-benar
membuatku shock sore itu.
“Pergi, yuk” ajaknya.
“Kemana? Tenagaku sudah habis, nih.”
“Cuma pergi makan aja, kok.”
“Capek banget, nih, inagurasinya tinggal 3 hari lagi
jadi hari ini aku all out, sekarang udah di batas hidup sama mati.” kataku
berlebihan.
“Kalau misalnya aku bilang kalau Hiro sama Sora juga
pergi, kamu tetap akan menolak?”
Aku berpikir beberapa saat sebelum menjawab, “…….. ya
udah, aku juga ikut, deh, cuma makan aja, kan?”
“Oke, deal, ya? Ayo, hari ini naik motor aja, ya,
mumpung Hiro juga bawa, kamu sama Sora nanti biar aku yang sama Hiro.” kata
Tsubaki sambil menarikku ke arah parkiran motor.
“Eh? Nggak usah!” kataku sambil terus berusaha untuk
lepas tapi pada akhirnya kalah juga.
“Sorry, lama nunggu, ya?” tanya Tsubaki pada dua orang
di depanku yang sudah siap duduk di atas motor masing-masing, Sora yang
menjawab pertanyaan Tsubaki.
“Nggak juga, cuma 5 menit, eh, Tsubaki kamu…” omongan
Sora terpotong karena Tsubaki sudah pergi duluan untuk duduk di jok belakang
Hiro.
“Ayo Riko, cepat naik! Supaya bisa cepat pulang terus
tidur.” kata Tsubaki sambil berkedip padaku.
Aku dan Sora hanya bisa diam saat itu, sampai
benar-benar sadar apa yang sudah dilakukan Tsubaki dan Hiro dan Tsubaki sudah
tidak ada, Sora lalu memakai helmnya dan menepuk jok belakang motornya.
“Naik sini.” katanya lalu menyerahkan helmnya yang
lain padaku.
“Pegangan yang kencang, ya, kita akan menyusul dua
orang itu.” lalu motor Sora mulai melaju kencang untuk mengejar Hiro dan
Tsubaki.
Kami berhasil menyusul mereka di lampu merah dekat
kampus, Sora lalu memposisikan motornya di sebelah motor Hiro.
“Jahat, ya, kita masih siap-siap kalian langsung kabur,
padahal Tsubaki yang mengajak.” kata Sora.
“Habis kalian lama banget, udah lapar level dewa
kalian malah lambat, gimana, sih.” keluh Tsubaki.
“Ah, udah hijau, tuh lampunya, kebut lagi Sora!”
teriakku dari belakang dan tanpa di perintah dua kali Sora sudah menjalankan
motornya sampai jauh dari motor Hiro.
***
Aku dan Sora yang sampai lebih dulu di sebuah restoran
fast food, mencari tempat duduk dan
menemukan sebuah meja untuk empat orang di bagian pojok dan duduk disitu sambil
menunggu Hiro dan Tsubaki, aku duduk di kursi yang rapat ke tembok dan Sora
duduk di sebelahku, selama beberapa saat aku sibuk dengan pikiranku sendiri
sampai Sora membuyarkannya.
“Riko, ini cuma perasaanku saja atau kamu memang sudah
tidak pernah membahas soal Hiro lagi? Setiap lagi bareng kayak sekarang, di SMS
atau social media kamu nggak pernah bahas dia lagi.” kata Sora.
Mati aku,
mesti bilang apa? Nggak mungkin, kan aku bilang kalau aku sudah nggak pernah
tanya soal Hiro lagi karena aku sekarang suka sama Sora?
“Ngg… gimana, ya? Kalau boleh jujur, sih, aku
sebetulnya sudah nggak suka lagi sama Hiro, mungkin perasaanku untuk Hiro itu
cuma rasa kagum saja.” kataku tanpa bisa melihat langsung ke Sora.
“Eh? Serius? Jadi sekarang kamu sukanya sama siapa?”
tanya Sora.
Belum sempat aku menjawab pertanyaan itu Hiro dan
Tsubaki datang, aku langsung menariknya untuk pergi memesan makanan, tentu saja
setelah bertanya apa yang diinginkan kedua orang itu.
“Makasih, Tsubaki.” kataku.
“Eh? Buat apa?” tanya Tsubaki dengan ekspresi tidak
mengerti.
“Tadi aku bilang sama Sora kalau aku sudah tidak suka
lagi sama Hiro, pas dia bertanya siapa orangnya kamu dan Hiro datang, makasih
banget, ya.”
“Untunglah, kalau terlambat datang satu menit saja
bisa di skak mat kamu disitu.” kata Tsubaki, lalu kami meneruskan mengobrol
sampai antrian di depan kami habis.
“Maaf, nunggu, nih habisin.” kata Tsubaki sambil
menaruh makanan di meja kami.
Sambil makan kami bercerita tentang apa saja, jurusan
kami, persiapan inagurasi, bahkan soal status hati kami saat ini.
“Eh, Hiro kemarin kamu nembak Akane, kan? Gimana?”
tanya Sora.
“Diterima dong! Padahal dulu sebelum persiapan
inagurasi katanya dia nggak bisa.” jawab Hiro.
“Eh? Gimana, nih, Riko? Hiro-mu di ambil, tuh.” kata
Sora sambil menyikut lenganku.
“Apaan, sih Sora! Kan tadi aku udah bilang kalau itu
cuma kagum saja. Iya, kan, Hiro?” kataku sambil mencoba mencari pembelaan.
Yup, Hiro
tahu kalau aku “tadinya” suka sama dia, pada dasarnya semua temanku di jurusan
tahu soal itu, sekarang sih cuma dijadikan bahan lelucon saja.
“Iya, dia udah move on, ke seseorang yang lebih dekat
sama dia.” timpal Tsubaki.
“Ya…ya… bully saja aku terus-terusan, aku ngambek,
lho.” kataku, lalu kami semua tertawa.
Sebelum pulang, kami mengambil beberapa foto kami
berempat dan sepertinya iblis di dalam Tsubaki hari ini sedang sangat aktif,
lagi-lagi dia mengajukan ide gila.
“Eh, foto berdua-berdua, yuk, kan lumayan nanti kita
dikira habis double date.” katanya
sambil memegang HP-ku yang paling terzalimi malam itu karena mengambil terlalu
banyak foto.
Aku memotret Hiro dan Tsubaki beberapa kali, aku lihat
Sora sudah mulai bosan dan Tsubaki juga sepertinya melihat ekspresi bosan itu,
dia lalu mengambil HP-ku.
“Sekarang giliran kalian, awas kalau nggak kelihatan
kayak lagi nge-date.”
Setelah Tsubaki puas mengambil foto, kami pulang masih
dengan formasi yang sama dengan saat pergi.
“Rumah kalian berdua searah, kan? Aku sama Hiro mau
mampir sebentar ke suatu tempat, Sora kamu harus antar dia sampai rumah, ya,
kalau perlu sampai kamarnya sekalian.” kata Tsubaki seperti seorang mandor yang
memerintah buruhnya, setelah naik ke motor kami berpisah karena mengambil jalan
yang berbeda.
“Tsubaki hari ini aktif banget, ya. Kenapa, sih?”
tanya Sora setelah motornya sudah melaju agak jauh.
“Entahlah, obatnya habis kali.” jawabku dan kami
tertawa.
“Oh, iya, tadi kepotong, kamu belum jawab pertanyaanku,
siapa orang yang kamu suka sekarang?”
Lagi-lagi
pertanyaan ini, entah bagaimana aku harus menjawabnya.
“Coba tebak, kan nggak seru kalau langsung kusebut.”
“Ngg… anak fakultas kita, kan yang jelas? Jurusannya?”
“Pikir dong!” kataku menantang, selama beberapa saat
kami diam, Sora memikirkan siapa orang yang kusukai, aku memikirkan apa yang
harus kulakukan kalau dia sampai tahu, tapi aku sangat ingin melihat reaksinya.
“Hei, kalau kubilang orang yang kusuka itu Sora,
kira-kira bagaimana?” tanyaku.
“Eh? Aku? Entahlah, aku nggak tahu, kalau ada
seseorang di kelas yang sama suka sama aku, aku nggak tahu mesti gimana, tapi
kalau aku juga menyukai orang itu pasti akan kuterima, aku tidak mungkin bohong
pada diriku sendiri.” jawabnya.
“Apa ada anak di kelas kita yang kamu suka?”
“Kalau boleh jujur, sih. Iya, ada, dan orang itu bukan
Tsubaki.”
“Eh? Siapa? Kasih tahu dong!” tuntutku.
“Pikir, dong. Nggak seru kalau langsung kusebut.”
balas Sora sambil tertawa.
“Ih, ambil kata-kataku lagi, apaan, sih, bego!” kataku
sambil bercanda memukul pundak Sora.
Setelah itu kami bercanda sepanjang jalan, hal itu
tidak dibahas lagi, tanpa disadari kami sudah sampai di depan rumahku.
“Sudah sampai, nih, bayar!” kata Sora sambil
menjulurkan tangannya.
“Apaan, emangnya kamu tukang ojek? Nih ambil balik
helmmu.” kataku sambil mengembalikan helm Sora dan berjalan masuk ke rumah,
lalu aku berbalik.
“Makasih buat hari ini, aku senang banget, lho. Lain
kali kita pergi lagi, ya.” …kalau bisa
berdua saja. Aku sangat ingin mengatakannya tapi aku tidak bisa.
“Sama-sama, aku juga senang, kok.” balasnya “…apalagi
bisa menguras habis isi dompet Hiro, aku senang sekali.” lanjutnya lalu kami
tertawa lagi.
“Okay, then, see
you tomorrow, be careful on your way home, good night.” kataku.
“You too, have a
nice dream.” balasnya lalu Sora kembali memakai helmnya dan mulai melaju
meninggalkan rumahku, aku menunggu sampai dia hilang di sebuah belokan baru aku
masuk kedalam rumah.
Wherever You Are Part 3
Setelah “Hari Penolakan” itu, aku masih sering
mendapati Sora berbicara dengan Tsubaki seakan-akan tidak pernah terjadi
apa-apa di antara mereka, mungkin itu enaknya jatuh cinta dengan sahabat
sendiri karena mereka punya banyak hal lain yang bisa dibicarakan dan mereka
walau mungkin hanya sesaat bisa lupa tentang perasaan mereka, lagipula saat ini
mungkin baik Sora maupun Tsubaki tidak punya waktu untuk memikirkan hal itu
karena saat ini kami sedang disibukkan dengan persiapan untuk inagurasi
fakultas, aku dan Tsubaki mendapat tugas di bagian dekorasi, menyipakan
panggung dan hal-hal lain seperti itu, sedangkan Sora dan Hiro di bagian perkusi.
Suatu hari, saat aku dan Tsubaki sedang beristirahat
di kantin entah kenapa Tsubaki membahas soal Sora bukan Sendal seperti
biasanya.
“Kamu tahu nggak? Kayaknya Sora udah move on, deh, dia
naksir anak kelas kita” kata Tsubaki.
“Eh? Masa? Siapa?” untung aku sedang tidak sedang
mengunyah apa-apa, aku yakin pasti akan tersedak karena shock “Cepat banget!”
kataku.
“Teman sekelas kita, kok, Akane.” kata Tsubaki sambil
tetap sibuk dengan makanannya.
Akane?
Eh? Tunggu dulu…
“Bukannya Hiro suka sama Akane?” tanyaku.
“Nah, itu dia. Si bodoh Sora itu sudah jelas-jelas
tahu sahabatnya suka sama Akane tapi dia malah suka sama Akane, kalau aku, sih,
ya, lebih suka kalau Sora jadian sama Riko saja” jawab Tsubaki ringan tapi
berhasil membuatku tersedak es teh yang baru saja kuminum.
“Eh? Kenapa?” tanyaku gugup, untuk alasan yang tidak
jelas, padahal ini soal Sora bukan Hiro.
“Ya enggak apa-apa, toh kalian dekat, sering bareng di
kelas, kalian sama-sama pintar.”
“Terus kenapa? Kan kamu tahu aku suka sama Hiro.”
kataku.
“Iya, sih. Ya sudahlah” dan pembicaraan hari itu
berhenti sampai disitu tapi pikiranku tidak, bahkan selama beberapa hari setelah
itu aku masih memikirkan kata-kata Tsubaki. Dan malam itu, aku menyadari sesuatu
yang bahkan aku sendiri tidak mau dan tidak akan percaya.
Aku telah jatuh cinta pada Sora.
***
Tiga hari setelah hari itu, saat aku dan Tsubaki
sedang mengerjakan panggung untuk inagurasi, tubuhku ada di lapangan
mengerjakan panggung tapi pikiranku ada di tempat lain, “Mungkin aku harus
bicara soal ini dengan Tsubaki.” pikirku.
Saat pekerjaan sudah menipis dan sudah ada celah untuk
mengobrol aku membawa properti-properti kecil yang sedang kukerjakan dan duduk
di dekat Tsubaki.
“Kenapa? Hari ini kalem banget, kangen sama Hiro, ya?”
tanya Tsubaki.
“Bukan itu, aku mau cerita soal sesuatu.” kataku.
“Ya udah, silakan.”
“Kayaknya aku udah berhasil move on dari Hiro.”
“Eh? Serius? Bagus, dong, kali ini siapa?” kata
Tsubaki sambil tetap bekerja
“Terus begini, aku suka sama seseorang tapi orang itu
suka sama sahabatku, dia udah pernah nembak sahabatku itu tapi dia ditolak,
padahal waktu itu aku yang paling ngedukung dia buat nembak tapi sekarang malah
aku yang suka sama dia.”
”Sahabatmu ini nolak habis-habisan?”
“Iya, karena katanya dia nggak pernah menganggap cowok
itu lebih dari sahabat.”
“Siapa, sih orangnya? Bilang dong, penasaran, nih.”
“Itu dia masalahnya, aku jadi nggak enak, nih
ngomongnya.” kataku malu-malu.
“Siapa, sih? Sok main rahasia begitu.”
“Aku nggak bisa bilang”
“Apa perlu aku sebut satu persatu nama anak cowok di
kelas kita?”
“Nggak usah repot-repot” kataku semakin merasa
tertekan.
“Ya udah, aku bisikin aja, deh, tapi kalau benar, kamu
jangan mengelak, ya.” kata Tsubaki sambil tersenyum.
“Iya.”
“Sora, kan?”
Mendadak aku merasa mukaku menjadi panas, pasti
sekarang aku terlihat seperti kepiting rebus, dan sesuai janji aku tidak
mengelak.
“Iya.” kataku pelan dan kepalaku menunduk.
“Sudah kuduga, habis kamu bilang dia suka sama
sahabatmu tapi sahabatmu nolak habis-habisan, itu soal aku sama Sora, kan?
Akhirnya, sejak kapan?”
“Aku baru nyadar waktu kamu bilang Sora lebih baik
sama aku… mungkin.” kataku masih tetap dengan suara yang tertahan.
“Kalau gitu bukannya jadi lebih gampang? Kalian sudah
akrab, tinggal gimana caranya supaya kalian bisa jadian.”
“Nggak segampang itu, justru karena udah akrabnya itu,
lho, kalau dia sampai tahu perasaanku dia pasti bakal menjauh.” kataku sambil
mengerjakan properti yang sempat kuambil tadi.
“Jadi? Maunya gimana?”
“Biarkan saja seperti ini.”
Wednesday, December 11, 2013
Wherever You Are Part 2
“Terus? Gimana? Traktirannya mana?” tagihku pada Sora
2 hari setelah itu.
“Belum. Aku udah nembak, yang kemarin semuanya udah
aku kasih, tapi dia minta aku buat kasih dia waktu buat menjawab.” jawabnya.
“Ya iyalah, jangan desak dia, yang ada nanti hasilnya
nggak sesuai keinginan.” kataku.
“Iya, aku tahu, kok.”
Hari itu juga, aku terus-terusan jadi konsultan cinta
buat Tsubaki, dia bingung harus melakukan apa.
“Gimana nih Riko? Aku nggak tahu mesti jawab apa, Sora
itu temanku sejak kecil, sampai saat ini aku nggak pernah menganggap dia lebih
dari sahabatku” katanya.
“Jadi? Kamu maunya gimana?” tanyaku.
“Mungkin aku bakal nolak dia, tapi aku takut nanti aku
sama dia bakal awkward, aku nggak mau kehilangan orang yang udah nemenin aku
dari dulu.”
“Kalau mau gampang, ini cuma pendapatku, sih, ikutin
aja kata hatimu, lagian aku tahu kok kamu pasti bakal nolak Sora, kan kamu
punya si itu.” kataku dengan nada menggoda.
“Jangan ribut Rikoooo!!!” teriaknya sambil mencubit
lenganku, aku hanya bisa tertawa.
Aku tahu, Tsubaki saat ini tidak bisa menerima Sora,
mungkin bisa biarpun aku tidak tahu berapa persen peluangnya karena Tsubaki
menyukai orang lain, teman jurusanku juga, yang tahu soal ini cuma aku dan
supaya tidak ketahuan oleh orang lain namanya disamarkan menjadi Sendal.
Sendal ini, sepertinya juga cukup tertarik dengan
Tsubaki, mereka sering kontak entah lewat telepon, SMS atau social media,
mereka juga sering pergi berdua entah kemana, bisa dibilang hubungan mereka
cukup baik tinggal menunggu waktu saja.
“Mungkin sebaiknya jawabannya kutahan dulu, aku
benar-benar nggak bisa lihat gimana jadinya nanti setelah aku menolak Sora.”
“Ya udah, nggak apa-apa, Tsubaki yang punya hak untuk
memilih mau bagaimana.” jawabku.
***
Sebulan setelah itu, Tsubaki masih belum menjawab
pernyataan cinta Sora. Sora terus bertanya padaku tentang Tsubaki, memberi
pernyataan-pernyataan absurd tentang alasan kenapa Tsubaki belum menjawab sampai
saat ini,yang entah dari mana dia dapat, artinya aku jadi lebih sering
menghabiskan waktuku dengan Sora.
“Mungkin dia nggak suka sama aku” kata Sora suatu hari
saat kami sedang mengerjakan tugas di kelas.
“Siapa bilang?” tanyaku sambil tetap menulis “Dia nggak
berani, setiap hari dia tanya soal Sora, kok, katanya Sora sekarang berubah
udah nggak pernah cari-cari Tsubaki lagi, katanya Sora jadi terasa jauh.”
“Tapi sampai sekarang dia belum jawab, dia malah
menjauh.”
“Oh, iya, katanya nanti Tsubaki mau ketemu buat kasih
jawaban.” jawabku, dan ini benar, tadi malam Tsubaki mengirim SMS yang memintaku
untuk memanggil Sora hari ini.
“Semoga saja seperti yang kuharapkan.”
“Semoga, ingat traktirannya, ya.” kataku. Maaf, Sora, mungkin hari ini kamu akan
kecewa. Mungkin kamu akan marah padaku setelah ini. Maaf.
Sore itu, aku menemani Tsubaki sampai ke tempat dimana
dia akan bertemu Sora, setelah mereka berdua bertemu aku menunggu mereka
selesai tidak jauh dari sana.
“Lho? Riko ngapain disini?” kata sebuah suara yang
berasal dari belakangku saat berbalik ke belakang…
“Hiro? Nggak ngapa-ngapain, Hiro sendiri ngapain
disini?” tanyaku balik kepada Hiro.
“Aku lagi cari Sora, kamu lihat?”
“Sora? Itu lagi disana ngobrol sama Tsubaki.” kataku
sambil melihat ke arah Sora dan Tsubaki.
“Pasti lagi ngelurusin masalah hati. Ya udah, aku
disini aja sama kamu sampai mereka selesai.” kata Hiro lalu dia duduk di
sebelahku dan anehnya, aku tidak merasakan apa-apa, aku justru bisa ngobrol
biasa dengan Hiro.
“Ah, sepertinya urusan mereka sudah selesai, kesana
yuk” ajak Hiro saat Sora dan Tsubaki sudah berdiri, aku lalu pergi dengan
Tsubaki ke tempat dimana kami bisa membahas kelanjutan “kasus” ini dan Hiro
menarik Sora pergi entah kemana.
“Terus? Gimana?” tanyaku setelah Tsubaki tidak kunjung
bicara juga, saat itu kami sedang duduk di kantin fakultas kami.
“Ya gitu, aku udah nolak dia, maunya balik kayak dulu
lagi, sih jadi aku bilang sama dia nggak boleh ada istilah awkward di antara
kita, aku tahu kedengarannya egois tapi seperti yang kubilang sebelumnya aku nggak
pernah mau kehilangan Sora, dia sahabatku yang sudah kuanggap seperti saudaraku
sendiri.” jawab Tsubaki.
Dan setelah itu semua berjalan lagi seperti biasa,
Sora yang masih memikirkan Tsubaki, Tsubaki yang tambah dekat sama Sendal, yang
berubah mungkin hanya aku, aku entah sejak kapan sudah tidak pernah memikirkan
Hiro lagi, karena tanpa kusadari ada orang lain yang sudah menggantikan posisi
Hiro.
Subscribe to:
Comments (Atom)