Monday, March 3, 2014

The Night Sky part 7



Sejak hari pertama libur selain rutinitas yang biasa dari pagi sampai sore aku bekerja di toko tante Miku, mulai mengumpulkan uang lagi untuk kado kedua bocah itu tahun depan, setiap tahun sepanjang libur seperti itu kecuali pada tanggal 9 sampai 11 aku libur, setiap tanggal 9 Agustus toko memang diliburkan oleh tante Miku untuk merayakan ulang tahun kedua bocah itu sedangkan tanggal 11 Agustus aku selalu libur untuk persiapan pergi ke festival, biarpun aku memaksa untuk bekerja biar hanya setengah hari tapi tante Miku tidak pernah mengizinkan, jadilah aku libur seharian padahal festivalnya di mulai pada malam hari, tanggal 10? Ada alasan tersendiri untuk libur di hari itu.
Tanggal 9 tahun ini aku datang ke rumah mereka pagi-pagi, membantu persiapan acara ulang tahun mereka dan juga untuk menjadi orang pertama yang member mereka kado selain ibu mereka seperti tahun-tahun sebelumnya, sore hari orang-orang mulai berdatangan, teman-teman mereka, keluarga dan kerabat mereka dan beberapa tetangga datang untuk merayakan ulang tahun kedua adikku itu, saat hari sudah malam dan para tamu sudah pulang aku membantu membereskan rumah, saat aku sudah mau pulang Sora menahanku untuk tinggal bertanding main game sampai pagi seperti tahun-tahun sebelumnya, padahal sekarang kami sudah kelas 2 SMA, tapi entah kenapa aku tidak pernah menolak ajakan ini makanya setiap tahun aku selalu menginap di rumah mereka hanya untuk menemani Sora main game, meski arti nama Yoru adalah “malam” tapi dia tidak pernah kuat begadang, jam 11 sudah paling lama, jadi setiap tahun cuma aku yang menemani Sora main game, kami biasanya baru tidur jam 4 tidak jarang juga tidak tidur sama sekali, karena alasan inilah tante Miku memberiku hari libur di tanggal 10 untuk istirahat setelah menemani anak bungsunya main game semalaman.
Tanggal 11 sore aku mulai bersiap-siap, menyeterika yukata yang akan kupakai, mengatur model rambut dan memakai yukata, semua itu harus kulakukan sendiri karena aku tidak punya ibu yang bisa membantuku melakukan semua itu, sampai kelas 1 SMP tante Miku masih membantu memakaikan yukata tapi setelah itu aku minta diajarkan untuk memakainya sendiri, meskipun nggak rela tante Miku akhirnya mengajariku. Aku tidak pernah pusing soal make-up karena aku tidak begitu suka menggunakannya paling hanya sedikit sentuan lip balm dan cologne, tepat jam 5:30 Sora datang menjemput, aku pamit kepada ayah lalu pergi.
Aku berjalan di belakang Sora karena pakaian hari ini membuatku sulit untuk bergerak jadi aku harus berjalan dengan hati-hati, kupikir Sora sudah tidak sabar untuk sampai ke sana makanya dia memegang tanganku lalu akan menarikku ikut berlari dengannya tapi ternyata aku salah, dia justru menyamakan langkahnya denganku.
“Kan nggak lucu kalau kamu menginjak ujung yukatamu terus kamu jatuh.” katanya, kemudian aku teringat kejadian saat kami masih kelas 4 SD dulu, aku menginjak ujung yukataku dan menjatuhkan es krim yang ada di tanganku, membuat yukataku kotor dan tanganku lecet, belum lagi di lihat banyak orang, memalukan.
“Nggak bakal, kok, lagian itu, kan kejadian dulu waktu kita masih kecil.” protesku “Lagian Sora juga pernah berbuat konyol, kan? Waktu kelas 6 dulu memanjat pohon untuk mengambil bola yang tersangkut tapi akhirnya malah menangis karena tidak bisa turun.” giliranku balik mengejek Sora, sepanjang jalan sampai lokasi festival kami saling ledek, menertawakan satu sama lain dan seterusnya dan seterusnya, begitu sampai aku merasakan genggaman tangannya semakin erat, ini juga di sebabkan karena kejadian waktu kami masih kecil dulu, waktu masih kelas 2 SD di festival yang sama aku melepaskan genggaman tangan Sora karena melihat sebuah stand yang menjual macam-macam mainan, saking asyiknya melihat mainan itu aku tidak sadar aku tersesat, aku menangis kencang, orang-orang jadi bingung lalu Sora datang, dia berlari mengelilingi tempat ini untuk mencariku, setelah dia menemukanku dan membuatku berhenti menangis sambil bergandengan tangan kami kembali ke tempat dimana ayah, tante Miku dan Yoru menunggu.
“Dengar, ya Nagare, apapun yang membuatmu tertarik di tengah banyak orang seperti ini jangan lepaskan tanganmu dari tanganku, kamu bisa tersesat, bahkan hilang dan tidak bisa pulang ke tempat ayah lagi, kamu mau?” tanya Sora malam itu saat kami berjalan menuju tempat ayah, aku hanya bisa menggeleng.
“Tapi aku juga salah sudah melepaskan tanganmu, aku janji nggak akan pernah melepaskannya lagi.” dan Sora masih ingat janji itu sampai sekarang.
Mungkin tanpa kusadari sebenarnya perasaanku untuk Sora sudah ada sejak berbagai kejadian yang kami alami berdua saja, tapi aku tidak pernah menyadari itu sampai saat ini.
Masih ada waktu beberapa menit, aku menarik Sora untuk membeli gulali yang di jual di sebuah gerobak yang ramai oleh pengunjung, setelah mendapatkan gulaliku lagi-lagi Sora menggenggam tanganku tapi kali ini dia langsung mengajakku berlari.
“Udah hampir mulai, berdoalah tahun ini belum ada orang yang menemukan tempat itu.” katanya.
Kalau Yoru pernah membawaku ke tempat yang menurutnya tempat terbaik untuk melihat kembang api, dia salah. Tempat yang akan kudatangi bersama Sora saat inilah tempat terbaik, suatu tempat yang terletak lebih tinggi dari lokasi festival, membuatnya menjadi tempat yang pas untuk melihat kembang api, hanya aku dan Sora yang tahu soal keberadaan tempat itu, tempat yang kami temukan saat iseng menjelajahi wilayah ini beberapa tahun lalu, satu dari sedikit rahasia yang kubagi berdua saja dengan Sora.
“Tahun ini juga kosong, ya, lihat bahkan gelas yang kutinggalkan tahun lalu masih ada!” teriaknya semangat, tepat saat kami duduk kembang api pertama diluncurkan, disusul kembang api lainnya dengan berbagai macam warna dan bentuk, menyadari saat ini hanya ada aku dan Sora jantungku sepertinya jadi tidak mau kalah dengan suara kembang api, sangat berisik belum lagi sejak tadi Sora sama sekali tidak melepaskan genggaman tangannya.
“Enak, ya kalau tahun depan bisa pergi ke sini lagi, berdua aja biar nggak ada yang rewel mau tidur, hahaha...” kata Sora santai tapi aku mengartikannya lain, mungkinkah Sora juga...
Dengan pemikiran itu aku mengumpulkan semua keberanian yang kupunya karena aku yakin ini waktu yang tepat.
“Sora?” aku memanggilnya untuk mendapat perhatiannya/
“Apa? Masih mau gulali? Atau permen apel? Nanti aja kalau udah turun.” katanya sambil tersenyum, biasanya dia akan mengacak rambutku seperti yang dia dan Yoru lakukan di hari lain tapi dia tahu kalau dia mengacaukan rambutku di hari festival artinya dia meminta hukuman terburuk yang bisa kuberikan.
“Bukan itu, ada hal lain yang mau aku omongin.” kataku.
Go on, I’m listening.” katanya masih dengan senyum yang sama, senyum yang hanya dia perlihatkan saat kami hanya berdua saja.
“Kamu pernah bilang kalau kamu nggak mau jadian sama orang yang nggak kamu suka, emangnya sekarang ada orang yang kamu suka?” tanyaku langsung.
“Lho? Kenapa mendadak nanya ginian, sih? Jadi malu aku.” katanya sambil menggaruk belakang kepalanya.
“Jawab aja.” desakku.
“Iya, ada, udah lama banget aku suka sama orang itu.” akunya malu-malu.
“Oh, ya? Terus? Kamu tahu perasaan orang itu ke kamu?” aku bertanya lagi, aku mulai takut kalau orang yang disukainya ternyata bukan aku dan ada orang lain yang pernah melihat sisi lain Sora yang kupikir hanya aku yang tahu.
“Entahlah, setiap bersamaku dia biasa-biasa saja, aku jadi takut kalau dia nggak ngerasain apa-apa ke aku.” katanya lagi.
“Sora aku mau bilang sesuatu sama kamu, tapi please kamu jangan marah atau benci padaku.” kataku hampir menangis.
“Apaan, sih? Kok jadi serius gini, lagian aku nggak akan pernah marah apalagi benci sama kamu.” katanya sambil menyisipkan rambutku ke belakang telinga.
“Sora, aku... suka, bahkan mungkin sayang sama Sora nggak tahu sejak kapan tapi entah sejak kapan perasaan ini ada dan saat sadar perasaan ini sudah memenuhi hatiku dan bisa tumpah kapan saja...” kataku sambil menunduk tidak bisa melihat muka Sora, beberapa detik tidak ada jawaban, aku memberanikan diri untuk menatapnya, muka Sora merah dan sepertinya dia sangat kaget, entah apa yang akan dia katakan setelah ini.
“Itu... serius?” hanya itu yang bisa dia ucapkan tapi kemudian dia berteriak kegirangan sampai-sampai aku yakin orang-orang di bawah sana bisa mendengarnya lalu Sora memelukku.
“Sial, seandainya aku tahu kalau perasaan kita sama aku pasti sudah nembak kamu dari dulu dan mencegah Yoru buat nembak kamu.” katanya sambil tetap memelukku.
“Hei, tahun depan dan tahun depannya dan seterusnya kita akan selalu bersama, kan? Kamu nggak akan pergi kemana-mana, kan?” tanya Sora.
“Ya, aku akan terus ada di dekatmu, kok, rumah kita sebelahan, kita juga bisa masuk ke universitas yang sama nanti, lalu saat kita dewasa nanti, kita akan tinggal bersama, selamanya.” kataku, air mataku sudah tidak bisa ditahan lagi, terus mengalir deras seperti beberapa tahun yang lalu saat Sora menemukanku di antara banyaknya orang di bawah sana, bedanya kali ini adalah air mata kebahagian.
“Maaf, sudah membuatmu menunggu, Sora.” kataku setelah menghapus semua air mataku.
No problem, it’s worth the wait anyway.” katanya sambil tersenyum.
Di bawah langit malam ini, aku dan Sora menemukan sesuatu yang jauh lebih keren dari tempat VIP untuk melihat kembang api, kami menemukan potongan yang hilang dari hati kami.

- END -

The Night Sky part 6



Sampai hari terakhir semester ini, aku menjalani rutinitasku seperti biasa, mengurus rumah dan ayah, membangunkan dua orang itu dan pergi ke sekolah yang sudah berisik dengan berbagai rencana untuk libur musim panas.
Saat jam istirahat aku dan Tsubasa juga sama dengan yang lain sibuk membuat list apa saja yang akan kami lakukan sampai Sora menghentikan kami.
“Nagare, Yoru nunggu kamu di tempat biasa.” katanya lalu kembali ke apa yang dia lakukan sebelumnya, Tsubasa yang belum tahu apa-apa menatapku bingung, aku hanya bisa tersenyum, aku harus memberitahu Tsubasa soal ini secepatnya, pikirku.
“Sampaikan perasaanmu dengan benar, jangan menangis, good luck.” kata Sora sambil tersenyum dan mengacungkan jempol dari mejanya saat aku baru tiga langkah meninggalkan kursiku.
“Makasih, aku pergi dulu, ya.” lalu aku berjalan ke tempat Yoru menungguku.
Aku melihat Yoru berdiri tepat di tempat yang sama saat dia menungguku waktu dia menyatakan perasaannya beberapa hari yang lalu.
“Maaf, nunggu lama, ya?” tanyaku.
“Nggak, kok aku juga baru sampai. Jadi? Aku udah bisa dapat jawabanku?” tanyanya langsung ke inti pembicaraan.
Aku diam, masih tidak tahu harus bilang apa, kemudian aku teringat pesan Sora tadi saat aku akan kesini.
“Maaf, ternyata aku memang....” sebelum aku sempat melanjutkan Yoru memotongku.
“Nagare akhir-akhir ini terlalu sering minta maaf, lagian aku tahu banget kamu sekarang belum benar-benar bisa bicara, kan? Matamu melirik ke kiri dan kanan terus, kebiasaanmu kalau lagi gugup,” katanya sambil mengacak-acak rambutku, “duduk dulu, deh, baru kita ngobrol.” lalu kami berdua duduk di sebuah bangku panjang yang berada tidak jauh dari tempat kami berdiri tadi.
“Udah tenang?” tanya Yoru setelah lima menit panjang tanpa suara.
“Iya, makasih ya, tapi maaf, ternyata aku memang hanya melihat Yoru sebagai adikku saja, tidak lebih, maaf...” hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.
“Begitu, ya. Jadi Sora, ya orangnya.” kata Yoru sambil menghela nafas panjang.
Eh? Tunggu, dari mana dia tahu?
“Malam itu, di hari yang sama saat aku menyatakan perasaanku, waktu kamu pulang sama Sora entah dari mana  aku melihatmu menangis sambil menatap ke rumah kami, di situ aku menyadari kalau kamu sangat menyukai Sora dan tidak mau merusak apa yang kita miliki dengan menahan perasaanmu sendiri, sedangkan aku malah membuatmu bingung dan merusak apa yang ada, harusnya aku yang minta maaf.” kali ini Yoru hanya menepuk kepalaku, dia tidak mengacak-acak rambutku seperti yang dia atau Sora biasa lakukan.
“Pada akhirnya, aku tidak pernah membuatmu senang, ya? Akan kukatakan selagi bisa, pergilah ke adikku itu, dia seorang idiot tapi dia pasti akan membuatmu senang.” lalu aku mengingkari janjiku pada Sora, aku menangis.
Sama seperti dulu saat Sora yang selalu mengajakku yang sedang menangis pulang dari taman sambil berpegangan tangan, Yoru akan memelukku saat aku menangis karena mimpi buruk atau hewan peliharaanku mati, tapi aku yakin ini akan jadi pelukan terakhir yang kuterima dari Yoru, aku bisa merasakan seluruh perasaannya untukku dari tubuhnya, air mataku terus mengalir tanpa henti, setelah itu dia mengantarku kembali ke kelasku.
“Maaf, ya Yoru, terus... terima kasih, aku pasti akan menyatakan perasaanku pada Sora dengan benar dan berani sepertimu. Eh, rahasiakan dari Sora kalau tadi aku menangis, ya.” kataku sambil tersenyum saat kami sampai di depan kelasku.
“Ah... kamu lebih memilih Sora dari pada aku. kamu mematahkan hatiku, kak, aku jadi sedih, nih.” kata Yoru dengan akting yang berlebihan, aku hanya bisa tertawa melihatnya.
“Berjuanglah, kamu kakak kami, kan? Harus bisa melakukan hal seperti ini dengan mudah.” katanya sambil berjalan kembali ke kelasnya.
“Oh, iya, jangan sampai kamu lupa kado ulang tahunku karena terlalu senang, ya.” teriak Yoru dari depan kelasnya
“Tenang, udah siap, kok.” kataku balas berteriak, sambil tersenyum.
Begitu kembali ke kelas aku langsung kembali duduk di kursiku sambil menunggu bel berbunyi, lalu aku sadar kursi di sebelahku kosong.
“Lho, Sora mana?” tanyaku kepada Tsubasa yang duduk di depanku.
“Hm? Kayaknya tadi dia bilang mau beli minum atau apalah katanya.” kata Tsubasa cuek.
Menyadari ini waktu yang tepat karena Sora tidak ada aku menceritakan semua yang terjadi selama beberapa hari terakhir pada Tsubasa.
“Lho? Jelas, kan? Nagare baru pertama kali merasakannya tapi memang sudah seharusnya begitu. Bukan cinta namanya kalau nggak melibatkan perasaan, saingan, perjuangan dan sakit hati.” kata Tsubasa sambil mengeluarkan barang-barang dari laci mejanya.
“Oh, iya, kudengar tahun ini anak-anak ekskul baseball mau pergi bareng pas festival nanti, jadi tahun ini kamu bisa pergi berdua aja sama Sora.” belum sempat aku merespon ide gila itu Sora sudah kembali, otomatis pembicaraan ini tidak bisa dilanjutkan, Tsubasa memberi kode lewat matanya, aku hanya bisa mengalah.
“Gimana tadi? Sukses?” tanya Sora bahkan sebelum dia duduk di kursinya, Tsubasa lagi-lagi memberi kode, sekarang atau tidak sama sekali, pikirku.
“Begitulah. Eh, Sora tahun ini katanya anak-anak baseball bakal pergi bareng pas festival nanti, jadi tahun ini kita berdua aja, nggak apa-apa, kan?” tanyaku, Tsubasa melotot galak dari mejanya, hanya ini yang bisa kupikirkan sekarang, kataku lewat gerakan tangan.
“Oke, tapi ingat, ada hal yang jauh lebih penting dari itu sebelum festival.” kata Sora.
“Iya, iya... nggak kamu, nggak Yoru sama aja.” kataku sambil menghela nafas, lalu guru jam pelajaran terakhir masuk, setelah itu kami semua buru-buru pulang ke rumah masing-masing, tidak sabar ingin menikmati libur musim panas, tapi ada hal yang lebih membuatku semangat, aku akan pergi ke festival berdua saja dengan Sora.

The Night Sky part 5



“Maaf, ya manggil kamu keluar malam-malam begini.” kataku sambil menunduk.
“Nggak biasanya kayak gini, kenapa? Kalau ada perlu datang aja ke rumah, kan biasanya juga gitu.” kata Sora, saat itu aku sedang duduk di ayunan yang ada di sebuah taman bermain yang terletak tidak jauh dari rumah kami dan Sora berdiri di depanku.
“Nggak apa-apa, aku cuma lagi nggak mau ketemu Yoru.” kataku yang hanya bisa menunduk menatap sendalku.
“Kalau ngeliat kondisi kamu yang kayak gini berarti Yoru udah bilang ya.”
“Eh? Maksudnya? Jadi kamu udah tahu kalau hari ini Yoru mau nembak aku?” kataku yang langsung mengangkat kepalaku dan menatap tidak percaya kepada Sora.
“Iyalah, aku yang bantu susun kata-katanya, lho.” kata Sora sambil tersenyum lebar, bangga.
“Terus? Gimana? Kamu terima? Eh tapi kayaknya kamu belum kasih jawaban, ya.”
“Aku nggak tahu, habisnya kamu sama Yoru udah kuanggap adikku, kalau tiba-tiba begini aku...”
“Kamu pernah suruh aku jadian sama orang yang sama sekali nggak aku kenal supaya aku bisa kenal orang itu dan sekarang ada orang yang kenal kamu luar dan dalam yang bilang suka sama kamu tapi kamu nggak mau, gimana, sih?” kata Sora yang entah sejak kapan sudah jongkok di depanku dan mensejajarkan pandangan matanya dengan mataku, aku sangat ingin mengalihkan pandanganku tapi kalau aku melakukannya dia akan curiga.
“Aku... suka sama orang lain, makanya aku nggak bisa terima Yoru, cepat atau lambat aku akan menolaknya.” kataku sambil kembali menunduk untuk menyembunyikan mukaku yang sekarang pasti sangat merah, aku mengangkat wajahku untuk melihat Sora yang tidak mengatakan apa-apa dia hanya berkedip, sekali... dua kali... lalu,
“HEH? Serius? Aku baru dengar, siapa? Anak sekolah kita? Kelas berapa? Ayo bilang!” tanya Sora tanpa henti, aku merasakan mukaku semakin panas dan jantungku berdetak sangat kencang, bagaimana aku harus menjawab pertanyaan-pertanyaan itu? Mana mungkin aku bilang sama Sora kalau orang yang kumaksud adalah dia?
“Aku nggak mau bilang, udah, ah, udah malam pulang, yuk nanti ayah mencariku.” kataku sambil berdiri dan mulai berjalan meninggalkan taman.
Menyadari Sora masih diam di tempatnya aku menariknya untuk berdiri, “Ayo, Sora.” lalu dia berdiri dan mengikut di belakangku, sepanjang perjalanan pulang kami berdua diam sama seperti waktu kecil dulu, aku yang selalu diganggu akan menangis dan Sora akan memarahi anak-anak yang membuatku menangis dan dia akan mengajakku pulang sambil berpegangan tangan dalam diam seperti ini, tanpa sadar kami sudah sampai, sebelum Sora masuk ke rumahnya aku memanggilnya.
“Makasih mau mendengarkanku malam-malam begini Sora.” kataku.
“Nggak apa-apa, aku adikmu, kan? Aku siap mendengarkanmu kapan saja.” lalu dia masuk ke rumahnya, sedangkan aku? Aku masih di depan pagar rumahku, menangis.
Maaf, ya Sora, kali ini aku tidak bisa mengatakannya tapi suatu saat nanti aku pasti akan mengungkapkan perasaan ini padamu dengan benar di saat yang tepat.
Aku tidak tahu kalau saat itu ada seseorang yang melihatku menangis.