Wednesday, January 28, 2015

Author's Activity 4

Heyho! It's Wednesday! It's showtime!
Empat kali nulis buat post mingguan nggak sadar udah masuk minggu terakhir libur aja, mulai hari Senin nanti balik kembali sibuk lagi, selamat tinggal kasur, baik-baik ya (ketahuan nggak siapnya).
Hari Senin nanti selain mulai semester baru bertepatan sama jadwal post cerita Februari juga, sedikit bocoran, Februari berarti musim pink dan coklat (nggak, gue nggak bakal sebut kata "C" itu, geli sih), artinya ceritanya bakal berputar disitu, beberapa kali setahun gue bakal berusaha buat nulis sesuai event apa yang terjadi di bulan-bulan tertentu, tergantung inspirasi juga sih.
Kayaknya post ini pendek banget, tapi betul-betul kehabisan topik banget, ketahuan banget amatirnya, sudahlah.
Greetings frok Dream Land :)

Wednesday, January 21, 2015

Author's Activity 3

Heyho! It's Wednesday! It's showtime!
Jujur sebetulnya minggu ini belom mikir sama sekali mau nulis apa dan mungkin kedepannya juga pasti akan ada saat-saat seperti ini, just bear with it.
Mmm... nulis apa ya? Asli blank, selama libur kesempatan buat dapat inspirasi itu hampir 0%.
Oh iya, kalau dipikir post mingguan ini di kasih nomor sesuai urutannya dan entah tahun depan atau setelahnya berarti nomornya bakal sampai ribuan dan bikin orang bingung jadi setiap post pertama di tahun baru bakal dimulai dari nomor 1 lagi kayak majalah komik yang harganya selangit tapi tambah lama tipis itu loh (curcol).
Terus apa ya? Yang tadi asli nggak penting banget, harus nulis yang lain, mmm...
Nggak tau ah, bingung, berdoalah minggu depan nggak gini lagi.
Greetings from Dream Land :)

Wednesday, January 14, 2015

Author's Activity 2

Heyho! It's showtime!
Semoga nggak bosan ya gue muncul setiap minggu nulis nggak jelas, hahaha...
Sesuai janji minggu ini gilirannya PriPara puri!
PriPara itu kurang lebih sama kayak AiKatsu yang gue bahas minggu lalu, game arcade yang diadaptasi ke anime juga, sayang disini nggak ada mesinnya.
Menurut yang gue baca, mesin PriPara itu mirip kayak AiKatsu, rhythm game yang ngeluarin kartu buat bikin cord yang dipakai pas main, bedanya di PriPara ada kartu lain yang keluar yang bisa dipotong untuk ditukar sama teman sedangkan di AiKatsu cuma ada kartu cord aja.
Dibanding AiKatsu yang animenya sekarang udah sampai episode 115, PriPara baru sampai episode 27, tapi gue lebih dulu tahu soal PriPara karena dulu pembuat manga favorit gue selalu update soal PriPara di Twitter terus gue jadi penasaran dan begitulah, sampai sekarang masih ngikutin animenya, tahun lalu malah pernah beli manga asli Jepang buat dapat bonus PriTicket-nya PriPara sama AiKatsu Card-nya AiKatsu yang bisa dipakai di mesin arcade yang di Jepang (yang entah kapan baru bisa dipake).
Apa perlu review anime-nya juga kayak AiKatsu minggu lalu? Not like anybody reading this, but oh well, here goes nothing.
Animenya soal anak SD yang rumahnya restoran italia, suatu hari dia nonton konser grup legendaris di TV terus dia mikir dia nggak bakal bisa begitu apalagi dia belum punya PriTicket yang dibutuhin buat masuk ke PriPara, tempat dimana orang bisa jadi idol atau cuma sekedar mondar mandir aja, pas dia lagi bantu-bantu di rumahnya dia pungut barang pembelinya yang ketinggalan sampai dia kejar orang itu sampai pintu masuk PriPara tapi dia nggak bisa pergi lebih jauh soalnya dia nggak punya tiketnya, tiba-tiba dia dapat tiket kemudian dia lanjut mengejar orang tadi, setelah ketemu orang itu dia malah diajak buat gabung sama orang itu dan dia langsung diajak tampil live saat itu juga, dan begitulah, dia ketemu banyak orang sambil terus ngelanjutin jadi idol.
Kalau disuruh ngebandingin AiKatsu sama PriPara, mungkin lebih pilih PriPara, biarpun soundtracknya lebih suka AiKatsu tapi ceritanya PriPara lebih ringan dan mungkin karena karakternya nggak sebanyak AiKatsu jadi nggak bingung ikutinnya.
I guess that's it for this week, see you next week!
Greetings from Dream Land :)

Wednesday, January 7, 2015

Author's Activity 1

Heyho!
I'm back! Ya nggak ada yang peduli sih, tau kok._.
So? Ada yang sadar kalau title postingan kali ini beda? Ini bukan Author's Note atau Announcement kayak yang kemaren-kemaren, ini ide baru yang bener-bener baru gue pikirin beberapa hari yang lalu.
Gue sadar dari awal gue bikin blog ini blog ini terlalu sering terlantar dan tidak terurus, gue kesini seenak gue, dulu sebulan sekali, terus beberapa bulan sekali dan akhirnya (berasa) setahun sekali, rasanya nggak pro dan membuat gue merasa seumur hidup gue cuma bakal jadi amatiran makanya mulai minggu ini gue bakal tulis apa yang terjadi sama gue setiap seminggu sekali, hari Rabu, kenapa Rabu? Karena Rabu adalah pertengahan dalam seminggu if you know what I mean.
Enough with the intro, let's get the story started, IT'S SHOWTIME!
Ah, nggak nyante? Sorry, itu pengaruh kebanyakan nonton anime bertema idol yang bakal gue bahas minggu ini.
Ada yang tau AiKatsu? AiKatsu atau Aidoru Katsudou yang di translate ke bahasa Inggris jadi Idol's Activity adalah anime yang setiap Sabtu pagi tayang di TV swasta dan jadi inspirasi gue buat titel postingan ini, tapi gue nggak tahu anime ini dari TV, gue pernah nonton sekali itu juga cuma dikit karena gue nggak pernah puas sama dubber lokal, gue justru tau dari poster arcade-nya di game center dan setelah gue coba mainin jadi ketagihan._.
Gameplay-nya simple, rhythm game dimana kita harus pencet tombol sesuai yang muncul di layar, tapi game ini bukan cuma itu, kita bisa dapat kartu kostum yang bisa dipake di game itu, jatuhnya emang mahal sih tapi it's worth the price anyway, gue koleksi kartunya tapi setau gue cuma satu game center yang ngeluarin kartu disini, game center satu lagi yang gue tau nggak ngeluarin kartu tapi tokennya lebih murah.
Animenya? Gue emang bilang gue nggak nonton di TV tapi gue cari di internet, yang dubber Jepang sekalian belajar listening buat keperluan kampus juga (alesan), sekarang gue punya sekitar 70 episode dan gue baru nonton setengahnya dan liburan semester ini bakal dimanfaatkan buat itu.
Plotnya ya gitu, cewek biasa yang bercita-cita jadi idol bareng sahabatnya terus mau ngalahin top idol, typical little girls program, tapi ini yang selalu gue suka dari kecil so why not?
Di HP sama Lappy juga langsung penuh sama soundtracknya, sampai bikin playlist sendiri buat lagu-lagu itu.
Mungkin ini dulu untuk yang pertama, minggu depan...  mungkin gue bakal bahas anime idol lain yang gue suka, judulnya PriPara, bersabarlah dengan review ala gue sampai gue mulai kuliah lagi dan punya cerita konyol dari kampus gue.
Greetings from Dream Land :)

Thursday, January 1, 2015

Author's Note 5

Jadi tadi habis post mmm.... bukan cerpen yang jelas, soalnya panjang banget, ada satu titik dimana harusnya dan bisa banget berhenti tapi ini tangan gatel banget pengen nambahin adegan ala-ala FTV yang di bagian terakhir itu.
Ceritanya sebetulnya udah lama lari-lari di kepala, soal Zero sama karakter paling pertama yang gue buat sekitar 8 atau 9 tahun yang lalu, tapi yah seperti biasa nggak bisa merangkai kata-katanya dan waktu itu anak SD jangankan main blog, punya hape aja udah sukur banget.
Sekalian meluruskan, Zero dan Nina itu emang karakter pinjaman, dari manga yang gue suka banget waktu SD, mestinya ini dimasukin di fanfiction bukan di blog pribadi, tapi ya sudahlah.
Sebetulnya sebelumnya udah pernah juga minjem nama Zero sekitar 3 tahun yang lalu, tapi disitu bad ending, Zero mati, disini nggak hahaha... sudahlah.
Oh well, I'm done with my job, signing out now.
Greetings from Dream Land :)

Zero part 9

Selama sebulan terakhir rutinitasku sedikit berubah, aku tetap mengurus ayah dan membuat sarapan di pagi hari, tapi sekarang aku harus meninggalkan rumah lebih awal supaya bisa naik bus tepat waktu. Ayah menawarkan untuk mengantarku setiap hari tapi aku menolak, ayah sudah sibuk, aku tidak mau menambah pekerjaannya. Setelah itu setiap hari sepulang sekolah aku pergi menemani Zero, dari jam pulang sekolah sampai malam aku duduk di sebelahnya, berharap dia akan bangun dan tersenyum lagi padaku.
Hari ini juga aku pergi mengunjungi Zero, saat sampai di depan kamarnya aku melihat banyak dokter dan suster keluar masuk dari sana.
“Anu… apa ada masalah?” tanyaku pada salah seorang suster.
“Kamu keluarganya?” tanya suster itu.
“Ya, aku adiknya.” jawabku.
“Bisa tunggu di luar dulu, saat ini kondisinya sedang kurang bagus.” katanya lalu dia kembali sibuk dengan pekerjaannya.
Kurang bagus? Apa Zero akan pergi juga? Seperti papa dan mama? Aku tidak mau! Lagi-lagi aku menangis, aku berdoa semoga Zero baik-baik saja dan dia akan cepat bangun dan tertawa lagi seperti dulu.
“Sudah bisa masuk ke dalam, lho. Memang belum sadar, sih tapi dari tadi dia memanggil Sakura, lho, kamu kenal?” tanya suster tadi sekitar satu jam kemudian.
Tidak perlu di kasih tahu dua kali aku langsung lari ke kamar Zero dan duduk di sampingnya seperti yang kulakukan sebulan terakhir.
“Zero, aku disini, lho. Setiap hari aku disini menunggu kamu bangun. Ayah khawatir, lho, Nina juga, makanya cepat bangun…” kataku sambil memegang tangannya, dan kurasakan tangan itu menggengam balik tanganku, kulihat Zero membuka matanya lalu dia menoleh ke arahku.
“Sa…kura?” panggil Zero dengan suara yang masih lemah.
“Zero! Akhirnya bangun juga! Tunggu aku panggil dokter.” kataku sambil beranjak dari kursiku tapi suara Zero menghentikanku.
“Aku sayang kamu.” kata Zero masih dengan suara lemah yang sama tapi tetap membuat jantungku berdetak kencang.
“Aku juga. Sejak 10 tahun yang lalu perasaanku sama sekali tidak berubah, lho.”kataku lalu memeluk Zero.
“Aku tahu.” katanya “Tadi aku bertemu ibuku, lho.”
“Eh? Serius?” tanyaku kaget.
“Bukan cuma itu, aku juga ketemu ayah dan ibumu, mereka bilang masih ada yang harus kukerjakan jadi aku harus cepat bangun, setelah itu aku bangun dan di depan mataku sudah ada kamu.” kata Zero
“Aku… panggil dokter sekarang, ya?” kataku sambil berjalan keluar dari kamar dan Zero mengangguk.
Setelah diperiksa, keadaan Zero memang sudah jauh membaik padahal kata mereka tadi Zero sudah hampir mati, Zero bilang mungkin dia terbangun karena setiap hari aku ribut menyuruhnya bangun, ada-ada saja.
Setelah itu kadang Zero masih harus periksa ke rumah sakit, apalagi tangan kanannya patah dan butuh waktu untuk sembuh.
“Untung aku kidal, jadi nggak pusing, deh. Masih belum bisa bawa motor, sih.” katanya.
Ya setidaknya sekarang dia sudah bangun, dan aku yakin waktu sebulan yang kulewati tanpa Zero bisa dibayar dengan masa depan yang ada di depan sana.
Karena aku tahu, kalau bukan kamu sepertinya tidak bisa.

END

Zero part 8

Sejak hari itu, setiap hari aku menghabiskan waktuku dengan Zero, tentu saja aku juga tidak melupakan hal-hal lain yang harus kukerjakan, Zero juga mengerti, apalagi saat di rumah, hanya aku yang bisa diandalkan kalau tidak insiden pancake itu bisa terulang lagi.
Dulu saat ditanya apa aku punya orang yang disukai aku hanya tersenyum dan tidak bilang apa-apa, sekarang juga begitu, aku tidak mau orang-orang menganggap aku dan Zero aneh makanya kami merahasiakannya, ada Nina yang mengetahuinya juga tapi sepertinya dia juga diam. Dia menyadari perasaan Zero bahkan sebelum dia sendiri menyadarinya dan dia tetap mau pacaran dengan Zero, aku tahu pasti sakit sekali, aku harus cepat minta maaf padanya, untuk mengambil orang yang berharga baginya, aku langsung mengirim pesan kepada Nina untuk bertemu sepulang sekolah hari ini.
“Hari ini langsung pulang?” tanya Zero seperti biasa begitu kami sampai di sekolah.
“Hari ini aku ada urusan, kamu hari ini sendiri nggak apa-apa?” tanyaku sambil menyerahkan helm ke Zero.
“Iya nggak apa-apa, tapi pulangnya jangan kelamaan, nanti ayah khawatir, lho.” kata Zero.
“Ayah atau kamu?” godaku.
“Terserah.” muka Zero langsung memerah dan dia berbalik untuk pergi ke kelasnya.
“Sampai nanti!” teriakku sambil melambaikan tangan biarpun aku tahu dia tidak bisa melihatnya, dia hanya melambai balik sambil tetap membelakangiku.
Begitu bel pulang berbunyi aku langsung menghubungi Nina, dia bilang dia menunggu di taman air mancur yang letaknya tidak jauh dari sekolah kami jadi aku langsung kesana, aku sampai lebih dulu, Nina baru datang 15 menit kemudian.
“Sakura maaf, udah lama nunggu?” tanya Nina begitu dia melihatku.
“Nggak kok, tenang aja. Duduk disana, yuk biar ngobrolnya lebih enak.” kataku sambil menunjuk sebuah bangku panjang di dekat penjual es krim.
“Hari ini ada apa? Rasanya udah lama Sakura nggak mengajakku keluar.” kata Nina.
“Aku… mau minta maaf.” kataku sambil menunduk, aku malu dengan diriku sendiri, aku tidak bisa menatap Nina.
“Eh? Minta maaf? Untuk apa?” tanya Nina bingung.
“Aku… sudah merebut Zero, padahal dari kecil dulu aku tahu kalau Nina sangat menyukai Zero.” kataku masih menunduk, bahkan suaraku seperti tidak bisa keluar.
“Sakura ngomong apa, sih? Yang pertama kali suka sama Zero Sakura, kan? Zero juga dari awal memilih Sakura, aku ini di mata Zero cuma pengganti biarpun dia sendiri tidak menyadarinya.” kata Nina dan aku mulai menangis.
“Jangan nangis, nanti aku dimarahi Zero karena sudah membuat pacarnya yang manis menangis, makan es krim, yuk? Pasti bakal mendingan.” kata Nina sambil menggandeng tanganku, setelah selesai makan es krim kami pulang bersama karena rumah kami berdekatan.
Saat sampai di depan rumahku aku tidak melihat motor Zero, kemana dia? Tidak biasanya dia pulang lama sendirian, Mungkin pergi dengan temannya, pikirku, lalu aku masuk ke rumah.
Tidak lama setelah aku sampai di rumah hujan turun dengan derasnya, aku sedang berbaring di kasurku saat HP-ku berbunyi, telepon dari Zero, mungkin dia sudah ada di luar dan minta dibukakan pintu, sampai saat ini aku selalu lupa mengingatkannya membuat kunci baru.
“Halo, Zero?” jawabku semangat membayangkan aku akan bisa bersamanya lagi.
“Halo, ini keluarganya? Ini dari pihak rumah sakit…” orang itu belum selesai bicara tapi aku sudah mulai menangis, dari rumah sakit berarti sesuatu yang buruk sudah terjadi, aku tidak menangkap keseluruhan kata-kata yang diucapkan orang itu, intinya Zero kecelakaan dan sekarang ada di rumah sakit, air mataku masih mengalir saat aku menelepon ayah di taxi yang kutumpangi.
“Halo, ayah? Zero…” kataku masih terisak, ayah menyuruhku untuk tenang dan menjelaskan pelan-pelan, lalu ayah bilang dia akan menyusul secepatnya.
Begitu sampai di rumah sakit aku langsung ke resepsionis untuk menanyakan dimana Zero dan seorang suster langsung membawaku ke sebuah kamar dimana Zero sedang terbaring dengan banyak perban di badannya dan sebuah alat yang menunjukkan keadaannya, Setidaknya dia belum pergi ke tempat ibunya, pikirku, aku terus duduk di sampingnya sambil memegang tangannya.
“Bodoh, orang yang membawamu kesini katanya melihatmu berusaha menghindari genangan air sampai kamu tidak melihat mobil yang melaju kencang ke arahmu.” kataku “Harusnya hari ini aku pulang bersamamu seperti hari-hari lain, mampir ke tempat yang kita suka dan langsung pulang sebelum hujan turun.”

“Kamu bilang aku hanya boleh menangis di depanmu tapi kalau kamu tidur seperti ini dimana aku harus menangis? Siapa yang akan menghiburku? Cepat bangun, dong!” kataku sambil menyandarkan kepalaku di kasur, mungkin karena terlalu lelah menangis entah sejak kapan aku tertidur, semoga saat aku terbangun nanti Zero juga sudah bangun, seakan-akan semua ini hanya mimpi buruk.

Zero part 7

Hari ini Zero datang menjemput di kelasku, padahal SMP dan SMA terpisah cukup jauh, sepertinya dia berlari kesini karena rambut dan bajunya basah karena keringat.
“Udah siap?” tanya Zero begitu aku keluar dari kelas.
“Udah, sih tapi hari ini kita mau kemana?” tanyaku.
“Nanti juga kamu tahu sendiri, tapi kita mampir ke beberapa tempat dulu, ya.” jawabnya sambil menarik, bukan, tidak seperti biasanya hari ini dia tidak menarikku tapi dia menggandeng tanganku seperti yang dia lakukan 10 tahun yang lalu.
Dia tidak main-main saat dia bilang akan mampir ke beberapa tempat, kami mampir makan di restoran yang biasa kami datangi bersama ayah, lalu ke taman air mancur untuk membelikanku es krim bahkan tanpa aku meminta, kemudian kami ke toko bunga yang cukup jauh dari wilayah rumah kami padahal ada sebuah toko bunga lain yang biasa kami datangi, kenapa?
Dia memesan sebuah buket daffodil lalu menyerahkannya padaku.
“Pegang yang benar, ya. Jangan sampai buketnya rusak saat kita sampai di tujuan terakhir kita.” katanya setelah membayar dan kembali naik ke motor.
Setelah sekitar 20 menit Zero memberhentikan motornya dan menyuruhku turun, aku tahu tempat ini, tapi kenapa dia membawaku kesini?
“Kamu ingat tempat ini?” tanyanya.
“Tentu saja ini tempat dimana kita pertama kali bertemu, kan? Dan tempat dimana orangtuaku berada.” kataku, sekarang aku tahu untuk apa buket daffodil ini. Sekali lagi dia menggandeng tanganku lalu menuntunku ke makam kedua orangtuaku, aku semakin mempererat peganganku pada buket daffodil di tanganku.
Begitu sampai di makam orangtuaku – yang letaknya berdampingan – aku langsung menaruh buket daffodil itu kemudian mendoakan mereka, Zero juga melakukan hal yang sama.
“Suatu hari nanti…” kata Zero setelah selesai berdoa “Setelah mati aku juga ingin dimakamkan bersebelahan dengan orang yang paling berharga bagiku, tentu saja bukan dalam waktu dekat.” dia tertawa setelah mengatakan bagian terakhir.
“Kenapa hari ini kita kesini?” tanyaku pada Zero.
“Aku datang untuk minta izin sama orangtuamu.” katanya.
“Minta izin? Untuk apa?” tanyaku semakin bingung melihat Zero hari ini.
“Izin untuk sekali lagi mengklaim kamu menjadi milikku.” kata Zero sambil nyengir.
“Heh? Maksudnya apa?” tanyaku pada Zero, entah sudah berapa pertanyaan yang kuberikan untuknya hari ini.
“Hari itu kamu dengar aku mengakui perasaanku ke ayah, kan?” kata Zero.
Ternyata dia memang tahu, pikirku
“Cerita ini mungkin akan panjang, apa kamu masih tetap mau dengar?” tanya Zero, entah sejak kapan dia memegang tanganku dan aku mengangguk.
“Hari itu aku bilang sama ayah kalau aku menyayangimu, bahkan jauh sebelum kita bertemu disini 10 tahun yang lalu.” kata Zero memulai ceritanya.
“Sebelum itu? Bagaimana bisa?” tanyaku tapi Zero melarangku bicara,
“Tolong, dengarkan ceritaku sampai habis.” pintanya
“Orangtuamu dan orangtuaku berteman baik sejak mereka SMP, suatu hari mereka berjanji akan menjodohkan anak mereka, artinya jauh sebelum kita lahir kita sudah terikat.” kemudian dia mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya, sepasang cincin kecil yang sudah pasti tidak akan cukup untuk kami berdua.
“Ingat cincin ini? Sampai orangtuamu meninggal dan kamu pindah ke rumahku kita memakainya biarpun aku mengikat cincinku dengan sebuah rantai dan menjadikannya kalung karena aku tidak suka memakai cincin.” tentu saja aku ingat cincin itu, itu satu dari sedikit peninggalan orangtuaku, entah kapan dia mengambilnya dari kamarku.
“Tapi karena orangtuamu meninggal dan kamu diangkat menjadi adikku sudah jelas pertunangan itu tidak bisa diteruskan, kan? Makanya di hari kamu datang ke rumah ayah meminta kita melepaskannya. Tapi kemarin aku nekad minta sama ayah supaya diteruskan saja dan kamu tahu jawabannya kan.” kata Zero.
“Kamu sudah tahu perasaanku dan bagaimana aku memperjuangkannya, kan? Sekarang giliranmu, aku mau dengar jawabanmu biarpun nggak harus sekarang juga.” kata Zero menutup ceritanya.
“Nggak apa-apa, aku bisa jawab sekarang kok, biar mama dan papaku juga dengar.” kataku.
“Zero, aku…” aku tahu perasaan ini sudah terlalu lama ada sampai aku tidak tahu harus mulai darimana untuk menyampaikannya, kemudian aku melirik cincin kecil di tangan Zero, aku ada ide!
Aku mengambil cincinku kemudian menatap langsung mata Zero, hal yang sudah lama tidak bisa kulakukan.
“Aku juga sayang sama Zero, sejak hari pertama kita ketemu disini.” kataku kemudian aku beralih ke makam orangtuaku, “Nggak apa-apa, kan ma? Pa?” setelah itu aku kembali ke Zero.
“Udah impas, kan? Sekarang kita sudah sama-sama tahu perasaan masing-masing…” belum sempat aku selesai bicara Zero sudah menarikku ke pelukannya, seperti yang dia lakukan tadi pagi.
“Jangan kemana-mana, ya.” kata Zero sekali lagi berbisik di telingaku.
“Nggak akan, kamu juga, ya.” balasku, setelah itu kami pulang ke rumah karena ayah pasti sudah menunggu kami kembali.

Aku berdoa semoga kebahagiaan ini terus berlanjut, tapi sepertinya doaku tidak terkabul.

Zero part 6

Keesokan harinya seperti biasa aku bangun pagi lalu menyiapkan sarapan dan membangunkan ayah dan Zero, kemudian aku ingat kalau ayah hari ini libur – sebagai ganti hari libur yang kemarin – jadi aku langsung menuju ke kamar Zero, biarpun sebetulnya entah kenapa aku takut untuk masuk tapi aku memberanikan diriku, daripada tidak bisa ke sekolah.
“Zero bangun,nanti terlambat lho!” seperti biasa aku langsung berteriak begitu melangkahkan kaki ke kamar Zero.
“Mmm… 5 menit lagi…” gumam Zero dari balik selimut.
“Nggak! Hari ini aku udah sengaja telat bangunin, ayo bangun!” kataku sambil menarik selimutnya tapi Zero tetap tidak bergerak jadi aku menggoyangkan badannya.
“Zero… ayo bangun! Nanti kita terlambat!” kataku sambil tetap menggoyangkan badannya kemudian Zero langsung berbalik menghadapku lalu menarikku mendekar padanya.
“Pagi Sakura, aku udah bangun, nih.” bisiknya di telingaku, masih pagi dan aku sudah merasakan pipiku memanas.
“Bedoh!” teriakku “Cepat siap-siap, ya. Aku tunggu di luar.” lalu aku keluar dari kamar Zero, aku masih bisa merasakan pipiku semakin panas.
“Bodoh…” bisikku pada diriku sendiri lalu aku turun ke bawah.
Begitu aku dan Zero siap kami menaiki motor Zero, biasanya sepanjang jalan kami akan bercerita tentang apa saja, tentang teman kami. tentang hal-hal yang terjadi di sekitar kami, tentang Nina, kami tidak pernah menyembunyikan apapun, kecuali perasaan kami yang sesungguhnya, mungkin, dan hari ini tidak terkecuali bahkan setelah apa yang terjadi beberapa hari terakhir.
“Aku putus sama Nina.” kata Zero membuka pembicaraan kami hari ini.
“Eh? Kenapa? Berantem?” tanyaku, aku sangat kaget, aku tahu mereka sering bertengkar bahkan sejak sebelum mereka pacaran, tapi kenapa?
“Karena aku suka sama orang lain, itu aja.” jawab Zero santai.
“Terus? Reaksi Nina gimana?” aku benar-benar takut mendengar jawabannya, bagaimana kalau Zero mengatakan yang sebenarnya pada Nina dan dia jadi membenciku.
“Dia bilang dia tahu, bahkan sebelum kami jadian.” jawab Zero, saat itu kami sedang berhenti di lampu merah dekat sekolah, “Hari ini kamu langsung pulang?” pertanyaan yang sama setiap hari, tapi biasanya baru ditanyakan saat kami sudah sampai di sekolah.
“Ah, iya, rencananya sih begitu…” jawabku sambil berusaha menyembunyikan mukaku.
“Kalau begitu hari ini kita pulang bareng, ya.” katanya “Aku mau ajak kamu ke suatu tempat, nanti biar aku yang kabarin ayah kalau kita bakal telat pulang.” katanya sebelum mulai menjalan motornya kembali.
“Oke.” jawabku, setelah itu kami sampai di sekolah dan berpisah di gerbang, entah kemana Zero akan membawaku pergi hari ini, aku lupa tanya, tapi biar bertanya juga pasti dia akan menjawab “Nanti juga tahu sendiri.”.

Hari ini berjalan begitu lambat, entah karena pelajaran hari ini membosankan atau mungkin karena aku tidak sabar menunggu waktu pulang.

Zero part 5

Keesokan harinya setelah ayah dan Zero pergi aku mengunci pintu depan lalu melanjutkan beres-beres rumah karena ayah dan Zero tadi – lagi-lagi – mencoba menghancurkan dapur biarpun aku sudah bangun lebih pagi dari biasanya untuk menghindari hal ini tapi aku tetap kalah cepat dari mereka, bahkan hari ini lebih parah dari kemarin.
Terkadang aku berpikir, bagaimana ayah dan Zero dulu setelah ibu Zero meninggal, apa rumah ini berantakan setiap hari seperti itu? Aku bisa membayangkannya, sih tapi tetap saja terlalu mengerikan bahkan hanya untuk dibayangkan.
Setelah selesai beres-beres aku tidak tahu mau melakukan apa, rasanya aneh berada di rumah sendirian, biar Zero kadang pulang terlambat saat hari sekolah tapi itu tidak lama, saat libur seperti ini biasanya ada Zero yang menemaniku, dia bukan tipe orang yang selalu mengajak pacarnya keluar di hari libur “Aku ketemu dia lima kali seminggu dari pagi sampai sore, kadang sampai malam, kalau aku ketemu dia terus seminggu penuh mungkin aku bakal bosan.” jawabnya saat aku bertanya padanya kenapa dia tidak pernah mengajak Nina keluar saat libur.
Aku sempat berpikir untuk mengajak seseorang untuk menemaniku keluar tapi kemudian aku berubah pikiran. Kota ini kecil, tidak banyak tempat menarik yang bisa dikunjungi di hari libur, paling hanya sebuah pusat perbelanjaan terbesar – dan satu-satunya – di kota ini, sebuah taman dengan air mancur besar tempat penjual es krim terenak – menurutku – berada dan sebuah gedung bioskop tua, orang-orang pasti hanya ke salah satu dari sedikit pilihan tempat itu dan aku yakin Zero adalah salah satu dari orang-orang itu, jadi aku memutuskan untuk tinggal di rumah untuk istirahat – untuk menghindari bertemu Zero - atau mungkin memikirkan perasaanku dan kata-kata Zero, entahlah.
Aku naik ke kamarku, berbaring di kasur dan hanya memandangi langit-langit kamarku yang ditempeli sticker glow in the dark berbentuk bintang berbagai warna dan ukuran, Zero yang menempelkannya untukku beberapa tahun yang lalu dan belum ada satupun yang jatuh dari sana - entah karena lemnya yang bagus atau Zero yang pintar menempelnya -, aku hanya memandangi langit-langit dalam diam, lagi-lagi kaset rusak itu – pernyataan tidak langsung Zero – terputar lagi, karena mulai kesal karena tidak bisa berpikir jernih aku memutuskan untuk duduk di kasurku kemudian mataku langsung tertuju ke sebuah bingkai foto yang terletak di atas meja belajarku, di bingkai itu terpasang fotoku dan Zero saat kami pergi bersama ayah ke sebuah taman hiburan yang kami datangi saat kami berlibur ke rumah kakek dan nenek Zero, saat itu adalah pertama kalinya aku bertemu dengan mereka, sepertinya ayah sudah memberitahukan keberadaanku kepada mereka sebelum kami berangkat kesini, mereka memperlakukanku seperti mereka memperlakukan Zero, mereka sangat baik padaku.
Aku berjalan ke arah meja belajar lalu mengambil bingkai foto itu dan memandanginya lama, di foto itu aku dan Zero terlihat sangat kecil dibanding sekarang, itu sudah jelas, tapi aku benar-benar tidak menyadari kalau kami tumbuh sangat cepat, di foto itu Zero hanya 5 senti lebih tinggi dariku, sekarang selisih tinggi kami mungkin sekitar 20 senti, sampai aku masuk SMP aku tidak menyadari kalau Zero bertambah tinggi dan dewasa, berbeda dengan Zero yang kukenal 10 tahun yamg lalu.
Setelah puas melihat foto itu aku kembali berbaring dan berpikir, tapi entah sejak kapan aku malah tertidur dan terbangun saat HP-ku berbunyi. Telepon dari Zero, mungkin dia ada di bawah minta dibukakan pintu atau mengabari akan pulang telat, hanya dua kemungkinan itu, aku langsung mengangkat telepon itu.
“Buka pintu dong!” kata Zero bahkan sebelum aku sempat mengatakan halo atau semacamnya.
“Iya iya, tunggu ya.” kataku lalu aku menaruh HP-ku di kasur kemudian turun untuk membuka pintu.
“Hei, udah makan?” kata Zero begitu aku membukakan pintu untuknya.
“Belum, nih. Aku baru bangun, kamu sendiri? Udah?” tanyaku balik.
“Aku udah, tadi aku beli crepes, nih, cukup nggak?” katanya sambil menyerahkan kantong plastic berisi kardus segitiga.
“Cukup! Banget malah!” jawabku semangat, aku dan Zero sama-sama tahu kalau aku sangat suka makan crepes, “Makasih, ya. Aku sayang banget sama Zero!” kataku spontan, baru setelah itu aku sadar apa yang sudah kukatakan, Bodoh! Ngomong apa, sih! Nanti dia salah kira lagi, pikirku,
“Sama-sama, makan sana, nanti dingin terus jadi nggak enak, lho.” katanya entah dia tidak mendengar atau pura-pura tidak mendengar bagian terakhir yang jelas aku tidak mau tahu, aku langsung lari ke dapur untuk makan.

Semoga dia tidak salah sangka, harapku.

Zero part 4

Malam itu sekitar jam 7 saat aku baru saja memyelesaikan PR-ku, aku mendengar suara motor Zero memasuki garasi rumah kami, aku langsung berlari turun ke bawah untuk membukakan pintu untuknya karena dia menghilangkan kuncinya beberapa hari yang lalu.
Saat aku membuka pintu Zero baru saja akan menekan bel rumah dan dia langsung tersenyum begitu melihatku sangat berbeda dengan ekspresinya tadi pagi saat aku membangunkannya.
"Aku pulang." kata Zero masih dengan senyuman yang sangat kusukai itu.
"Selamat datang, sudah makan?" tanyaku.
"Belum dua kali nih, hari ini masak apa?" Zero balik bertanya sambil mengikutiku masuk ke dalam.
“Belum masak apa-apa, sih, aku baru selesai bikin PR, sih kecuali Zero nggak masalah cuma makan nasi putih aja.” kataku.
“Heh? Serius? Tahu gitu aku makan di luar aja.” protesnya.
"Bercanda, udah kok, makan, yuk!" kataku lagi sambil menarik Zero masuk.
Setidaknya kalau di rumah aku tidak perlu ingat kalau Zero punya pacar dan aku bisa memilikinya untukku sendiri saja, aku bersyukur Zero adalah kakakku, meskipun karena kenyataan itu aku tidak bisa benar-benar memilikinya dan aku tahu kalau Zero tidak akan pernah melihatku lebih dari adiknya yang cerewet dan merepotkan.
Setelah selesai makan seperti biasa kami akan menonton TV di ruang tengah, setiap malam pasti seperti ini, kami akan menonton saluran yang memutar film-film sepanjang hari, biarpun Zero adalah penggemar film action dan sejenisnya dia sering menggerutu saat menonton film di saluran itu karena filmnya pasti berbahasa Inggris – yang tidak dikuasai Zero, biarpun ada subtitle dia masih saja protes, katanya bahasa Inggris saja sudah membuat kepalanya pusing dan subtitle itu membuat kepalanya tambah pusing.
“Kenapa di dunia ini harus ada yang namanya bahasa Inggris, sih?” gerutunya untuk ke sekian kalinya.
“Karena bahasa Inggris itu bahasa internasional dan kebanyakan orang mengerti, kalaupun tidak kan ada subtitlenya.” kataku sambil mengambil permen yang ada di depanku, setiap malam saat menonton film pasti aku akan menyiapkan cemilan di meja untuk kami.
“Dan sayangnya aku bukan bagian dari “kebanyakan orang” itu.” katanya sambil memasukkan lima permen sekaligus ke mulutnya.
“Padahal dari dulu ayah sudah suruh Zero ikut les biar bisa mengurangi sakit kepala itu, kan?” tanyaku setelah kembali dari dapur untuk mengambil minum.
“Percuma, biar gimana juga aku nggak bakal ngerti.” kata Zero dengan mulut yang masih penuh permen.
Setelah itu kami tidak membahas persoalan ini lagi, setelah melewati setengah film, ayah pulang dan bergabung menonton bersama kami setelah itu aku menyiapkan makan malam untuk ayah, mencuci piringnya lalu kembali ke kamar untuk tidur, tapi sebelum aku sempat menaiki anak tangga pertama ayah memanggilku.
“Ada apa ayah? Butuh sesuatu? Apa ada pekerjaan kantor yang harus diselesaikan malam ini? Aku buatkan kopi, ya?” tanyaku begitu duduk di sebelah ayah di ruang tengah.
“Ah, tidak kok, hari ini ayah sudah tidak ada kerjaan, kok maaf ya padahal kamu sudah mau tidur.” kata ayah sambil mengacak rambutku, ah sudahlah, sudah mau tidur ini, pikirku.
“Ayah cuma mau bilang terima kasih, beberapa tahun terakhir ayah terlalu sibuk, selalu pulang malam atau pergi dinas beberapa hari bahkan minggu dan meninggalkanmu sendirian untuk mengurus Zero, padahal mestinya dia yang lebih bisa diandalkan.” kata ayah.
“Nggak apa-apa ayah, anggap saja ini bentuk terima kasihku karena ayah dan Zero sudah mengizinkanku tinggal disini, kalau dulu ayah tidak membawaku pulang kesini entah dimana aku sekarang, lagian aku juga suka kok mengurus Zero, rasanya seperti punya kakak sekaligus adik.” kataku sambil tersenyum.
“Ayah tahu kalau dulu ayah membawamu kesini karena kamu tidak punya kerabat lain, tapi ayah tidak mau kamu berpikir kalau kamu itu orang luar, rumah ini rumahmu, kamu boleh minta apa saja, kamu boleh egois, kamu bisa manja sama ayah atau Zero,” kata ayah.
“Tenang saja ayah, aku tidak pernah merasa seperti orang luar kok, ayah tidak usah khawatir,” kataku “...Aku sangat bersyukur ayah menjadi ayahku dan aku sangat senang punya Zero sebagai kakakku, terima kasih, aku merasa kalau ayah dan Zero sudah memberiku lebih dari yang papa dan mamaku pernah berikan.” aku sangat ingin menangis saat mengatakan ini tapi aku tidak mau membuat ayah khawatir, ayah sudah cukup lelah dengan pekerjaannya belum lagi Zero yang terkadang menuntut terlalu banyak, aku tidak boleh menambah bebannya, biarpun aku mengatakan kalau aku tidak pernah merasa seperti orang luar tentu saja aku merasa seperti itu, tapi aku tahu betul kalau aku tidak boleh merasa seperti itu karena itu akan membuat ayah sedih.
Setelah itu kami mengobrol sebentar kemudian ayah menyuruhku tidur karena sudah larut malam jadi aku kembali ke kamarku, lagi-lagi sebelum aku sempat menginjak anak tangga pertama ayah kembali memanggilku.
“Tolong terus bantu ayah menjaga Zero, ya.” kata ayah, aku hanya mengangguk lalu naik ke kamarku.
Aku hampir tidak tidur malam itu karena memikirkan pembicaraanku dengan ayah, kenapa ayah mendadak membicarakan ini? Aku tidak mengerti, aku merasakan firasat buruk tapi tidak tahu apa alasannya, menjelang pagi baru aku bisa tidur, untung aku masih cukup sadar untuk mengetahui kalau sekarang sudah memasuki hari Sabtu, tidak apalah aku tidur sedikit lebih lama.
Pikirku seperti itu tapi saat aku baru saja memasuki dunia mimpi suara ribut dari bawah membangunkanku.
Aku langsung ke sumber keributan yaitu dapur rumah kami, disana sudah ada Zero dan ayah yang entah sedang melakukan apa aku tidak tahu karena dapur itu terlalu berantakan.
“Ayah dan Zero ngapain?” tanyaku sambil bersandar di pintu dapur.
“Pagi Sakura, karena tadi ayah lihat tidurmu nyenyak banget jadi ayah pikir hari ini ayah saja yang bikin sarapan tapi kayaknya gagal nih.” kata Ayah sambil menyapu tepung yang entah bagaimana tumpah di lantai.
“Ayah kan bisa langsung membangunkanku saja, biar aku yang bersih-bersih terus masak, ayah sama Zero tunggu aja sambil nonton TV atau apa, setengah jam juga selesai.” kataku, belum sempat mereka protes aku sudah mendorong mereka keluar dari dapur, bisa gawat kalau mereka disini lebih lama lagi.
Setengah jam lebih sedikit aku sudah selesai membersihkan dapur dan membuat sarapan, ayah dan Zero sepertinya mencoba untuk membuat pancake – yang berakhir gagal total – karena aku menemukan sekotak pancake mix yang entah bagaimana selamat dari kekacauan tadi jadi aku memanfaatkannya. Setelah memastikan semua siap, aku segera pergi ke ruang tengah untuk memanggil ayah dan Zero tapi sebelum sempat masuk ke ruang tengah langkahku terhenti karena mendengar percakapan ayah dan Zero.
“Jangan gila kamu! Biar tidak ada hubungan darah kalian itu saudara! Lagian kamu punya pacar kan? Mau dikemanakan?” aku bisa dengar suara ayah yang seperti teriakan yang ditahan, mungkin supaya aku tidak dengar.
Saudara? Apa mereka sedang membicarakan tentang aku? Ada apa?, lalu aku berusaha untuk menangkap apa yang sedang mereka bicarakan.  
“Ya habis gimana lagi? Perasaan begini nggak bisa diatur! Kalau soal Nina aku bakal jelasin semuanya ke dia.” kali ini Zero yang bicara dengan suara yang hanya satu atau dua oktaf di bawah ayah.
“Nah terus? Kalau kamu putusin pacarmu yang sekarang belum tentu dia bakal terima, kan?” kata ayah masih dengan volume suara yang sama.
“Nggak masalah! Yang jelas aku suka sama Sakura! Terserah dia terima atau nggak.” kata Zero dengan volume yang lebih besar dari sebelumnya dan aku yakin kalau sekarang aku masih di dapur aku pasti masih bisa mendengarnya.
Hah? Apa? Apa aku tidak salah dengar? Zero menyukaiku? Yang benar saja! Sejak kapan? Berarti sekarang perasaan kami sama? Aku tidak mengerti, pikiranku mendadak kacau, kalau saja aku tidak ingat pancake yang kutinggalkan di dapur mungkin aku akan terus mematung di tempatku berdiri sekarang,  aku berusaha memasang muka tidak tahu apa-apa kemudian masuk ke ruang tengah.
“Sarapannya udah jadi, makan yuk!” kataku berusaha ceria yang semoga tidak ketahuan, soalnya Zero sering peka di waktu yang tidak tepat.
“Ah, kebetulan, sudah lapar nih habis dari tadi yang dilihat cuma channel masakan sih.” kata ayah.
“Saking nggak sabarnya mau makan jadinya nonton channel begitu, yang ada malah tambah lapar.” kata Zero sambil tertawa.
Ayah dan Zero bersikap seperti tidak percakapan tadi tidak ada, mungkin supaya aku tidak curiga tapi di kepalaku kata-kata Zero yang terakhir terus terputar di kepalaku seperti sebuah kaset rusak yang terus memutar bagian yang sama.
Setelah makan dan beres-beres rumah aku berpikir untuk kembali tidur karena efek kurang tidur tadi malam mulai terasa tapi entah kenapa – lagi-lagi – sebelum aku menginjakkan anak tangga pertama aku dipanggil tapi kali ini yang memanggilku adalah Zero.
“Sakura besok kamu ada urusan?” tanya Zero.
“Be... besok? Ng... nggak ada, sih. Ke... kenapa?” kataku gugup, sejak menyadari perasaanku untuk Zero saja aku berusaha untuk terlihat normal tapi setelah mendengar pernyataan cinta tidak langsung tadi aku jadi tidak tahu harus bagaimana, seakan-akan semua trik yang kupakai selama ini untuk menutupi perasaanku hilang tanpa bekas.
“Kamu kenapa? Ngomongnya aneh? Sakit? Mukamu merah lho.” kata Zero sambil mendekat kepadaku.
“Eh? Masa sih?” kataku sambil memegang kedua pipiku.
“Nggak demam, sih. Kamu baik-baik aja kan?” tanya Zero sambil menaruh tangannya di dahiku.
“Nggak apa-apa, pengaruh kurang tidur kali, tadi malam aku nggak bisa tidur.” jawabku “Besok kenapa?” tanyaku berusaha kembali ke apa yang pertama kali menjadi alasan kenapa Zero memanggilku.
“Besok aku mau keluar sama Nina terus ayah katanya ada kerjaan sampai malam kamu nggak apa-apa di rumah sendirian?” tanya Zero.
“Nggak apa-apa. lagian kalau bosan aku bisa telepon temanku buat temani aku keluar.” kataku lalu berusaha untuk beranjak naik ke kamarku, aku bilang berusaha karena Zero seperti mau menahanku untuk ada disitu selama mungkin, dia bahkan memaksaku ke ruang tengah untuk menonton apa saja program yang disiarkan sekarang.
“Zero aku ngantuk, biarin aku tidur dong.” pintaku setelah Zero berhasil menarikku turun ke ruang tengah.
“Hmm... ya udah deh, naik aja.” kata Zero yamg akhirnya melepasku untuk tidur.
Saat aku sudah sampai di pintu ruang tengah Zero bersuara lagi.
“Jangan lupa mimpiin aku, ya!” katanya sambil nyengir, aku tidak tahu harus bilang apa, aku merasakan lagi-lagi mukaku memerah kemudian aku lari ke kamarku.

Aku tahu Zero pasti hanya bercanda, tidak mungkin dia akan menunjukkan perasaannya, setidaknya sampai dia menyatakannya di depanku. Sejak dulu dia memang sering mengatakan hal-hal seperti itu tapi sekarang berbeda, aku tidak bisa menganggap kata-kata itu hanya candaan lagi.

Zero part 3

Sekarang, 10 tahun sejak aku mengenal Zero aku jadi orang yang paling mengerti dia biarpun hal ini tidak berlaku sebaliknya. Sejak awal aku tinggal di rumah ini ayah selalu sibuk bekerja dari pagi sampai larut malam bahkan di hari libur jadi hampir setiap saat hanya ada aku dan dia di rumah. Sejak pertama kali mengenal Zero aku hampir tidak pernah memanggil Zero dengan panggilan kakak atas permintaannya hari itu, aku memanggilnya kakak sesekali hanya untuk membuatnya kesal dan itu selalu berhasil, seperti hari ini.
“Zero bangun! Nanti telat!” kataku untuk kesekian kalinya dalam setengah jam terakhir.
“Hmm... 5 menit lagi.” gumamnya dari balik selimut.
Kakak, untuk kesekian kalinya kubilang, tolong bangun, kalau tidak kita berdua akan terlambat.” kataku dengan nada bicara sok lembut.
Zero langsung bangun dan menatap tajam padaku.
“Aku udah bangun sekarang, udah puas?” katanya masih dengan tatapan tajam yang sama.
“Belum, aku tidak akan puas sampai kamu benar-benar siap untuk berangkat.” kataku sambil berjalan ke arah pintu, “Makanannya sudah siap di meja, jangan lupa cuci piringnya, aku tunggu di depan, ya.”
“Iya terserah, cerewet.” jawabnya sambil berusaha menarik badannya dari kasur.
30 menit kemudian Zero sudah muncul dengan rambut berantakan dan seragam yang dipakai secara sembarangan, penampilan setiap hari saat akan berangkat ke sekolah, setelah itu kami berangkat dengan mengendarai motor Zero.
Aku dan Zero belajar di sekolah swasta yang sama, bedanya aku di SMP dan Zero di SMA, sekolah itu lengkap dari TK sampai SMA, kami tidak pernah belajar di sekolah lain sama seperti kebanyakan murid di sekolah itu, makanya tidak aneh kalau orang-orang disana sudah akrab biarpun ada satu atau dua orang yang saling tidak menyukai tapi aku bukan tipe pemilih dalam urusan teman, tapi aku juga bukan tipe yang pintar membuat teman, mereka datang sendiri dan yang harus kulakukan adalah belajar bagaimana caranya membuat mereka tinggal dan tanpa kusadari aku sudah punya banyak di sekitarku.
Hari ini juga kami sampai di sekolah tepat sebelum bel berbunyi, aku selalu berpikir sejak kami kecil dulu dari zaman dimana Zero masih memboncengku di belakang sepedanya sampai sekarang dimana sepeda itu sudah berubah menjadi motor, entah bagaimana caranya kami selalu sampai di sekolah tepat waktu, semepet apapun waktu yang kami miliki.
"Hari ini langsung pulang?" tanya Zero begitu aku turun dari motor.
"Hari ini kayaknya iya, deh. Kenapa?" aku balik bertanya.
"Hari ini mungkin aku bakal pulang telat, Nina minta aku temenin dia hari ini."
Oh, ya, biar sudah beberapa tahun berlalu aku selalu lupa kalau sekarang ada seorang Nina yang mengurangi waktu Zero bersamaku, biarpun ini sudah tahun kedua mereka bersama aku masih belum terbiasa dengan keberadaan seorang Nina dalam hidup Zero, bisa dibilang akhir-akhir ini Nina lebih banyak bersama Zero daripada aku, mereka selalu sekelas sejak mereka kelas 5 SD sampai sekarang mereka menginjak kelas 2 SMA, yang berujung pada pernyataan cinta Zero kepada Nina saat mereka kelas 3 SMP.
Dulu waktu aku masih kelas 2 atau 3 SD, mereka akan mengajakku bermain dengan mereka dan teman-teman mereka makanya tidak aneh kalau aku memiliki banyak kenalan yang lebih tua dariku, ada satu waktu saat mereka menyadari kalau perasaan mereka berubah dan keadaan menjadi awkward untuk waktu yang cukup lama yang membuatku khawatir dengan mereka dan mereka akan selalu bilang kalau semua baik-baik saja, tapi pada akhirnya mereka kembali, tapi kali ini sebagai pasangan, aku masih ingat ekspresi Zero saat dia memberitahuku kalau dia sekarang pacaran dengan Nina dan aku juga masih ingat perasaan yang sampai sekarang masih sering muncul saat Zero bersama Nina, perasaan yang tidak mengenakkan itu, sekarang juga aku merasakannya, perasaan cemburu yang tidak seharusnya kurasakan, tidak seharusnya aku merasakan perasaan ini, perasaan yang semakin kuat seiring kami tumbuh besar bersama.

Ya, aku menyadarinya, sejak malam dia membiarkanku menangis, ah bukan, bahkan sejak hari pertama aku mengenal Zero, aku telah jatuh cinta pada Zero.

Zero part 2

Beberapa hari setelah kedatanganku ke rumah ini aku berusaha untuk menyesuaikan diri di rumah ini, aku harus berterima kasih pada kedua orangtua kandungku yang semasa hidup menghabiskan waktnya bekerja sampai akhir hidup mereka untuk menghidupiku dan setiap hari menitipkanku di penitipan anak, berkat itu aku tumbuh menjadi anak yang cukup mandiri dan dewasa untuk anak seumuranku, biarpun masih ada hal yang tidak kumengerti tapi Zero dan ayahnya mengajariku hal-hal yang tidak sempat orangtuaku ajarkan padaku, contohnya ya dua hal yang kusebut tadi.
Ayah baruku memberikanku kamar sendiri yang terletak tepat di sebelah kamar Zero di lantai dua, biasanya aku tidak mengalami kesulitan untuk tidur bahkan tanpa dinyanyikan lagu atau dibacakan cerita pengantar tidur tapi ada saat dimana setelah tertidur aku akan bermimpi buruk – mimpi tentang papa dan mamaku -, tapi saat itu terjadi aku hanya menangis dalam diam dan berusaha supaya Zero - atau lebih parahnya ayah - tidak mendapatiku menangis, aku tidak ingin merepotkan mereka dengan membangunkan mereka di tengah malam dengan tangisanku, tapi suatu malam entah bagaimana Zero sepertinya mendengarku menangis dan langsung masuk ke kamarku.
“Kenapa? Kamu lapar? Mau ditemani ke toilet? Atau jangan-jangan kamu ngompol lagi?” tanyanya begitu dia mendapatiku menangis sambil memeluk boneka pemberian orangtuaku.
“Kenapa Zero disini?” aku malah bertanya balik.
“Kamu tuh ya, ditanya malah balik nanya.” Zero menghela nafas lalu lanjut bicara “Sejak kamu datang aku merasa aneh, orangtuamu mendadak hilang dari hadapanmu dan tidak pernah kembali lagi tapi kamu terlihat baik-baik saja, padahal ayah sudah menjelaskan kemana mereka pergi tapi kamu tetap biasa saja, makanya aku pikir kamu sama seperti aku.”
“Eh? Maksudnya apa?” kali ini aku benar-benar tidak mengerti apa maksud Zero. Sama? Apanya?
“Aku hampir sama sepertimu, tapi aku hanya kehilangan ibuku, kamu tidak pernah melihatnya sejak datang kesini kan? Dia pergi ke tempat yang sama dengan ayah dan ibumu sekitar dua tahun yang lalu.” kata Zero mengawali ceritanya “Awalnya aku menangis setiap hari, aku terus bertanya pada ayah kemana ibu pergi tapi bukannya mendapat jawaban yang kudapat hanya ekspresi sedih ayah, makanya aku belajar untuk menangis tanpa suara seperti yang kamu lakukan.”
“Tidak apa-apa kok kalau kamu menangis, kapan saja tidak masalah asalkan kamu cuma menangis di depanku, lebih ringan kalau ada yang tahu apa masalahmu kan? Setiap saat kamu mau menangis panggil saja aku, aku pasti akan langsung ada di sebelahmu.” kata Zero dan saat itu juga aku menangis, air mataku mengalir sangat deras malam itu, seandainya bisa aku ingin menangis meraung-raung tapi aku tahu aku pasti akan membangunkan ayah jadi aku menahannya tapi Zero langsung menarikku ke pelukannya.
“Kalau begini biar kamu berteriak aku yakin suaramu tidak akan terdengar, berteriaklah sepuasmu, aku akan menunggu sampai kamu selesai.” kata Zero dan aku melakukan sesuai yang dia katakan, aku berteriak sepuasku sampai aku tidak bisa mengeluarkan suara sama sekali, paginya ayah jadi panik karena tiba-tiba suaraku hilang tapi Zero bilang kalau aku kehilangan suaraku karena masuk angin dan ayah percaya, malam itu adalah rahasia pertama yang kubagi dengan Zero.

Dan mungkin sejak malam itu ada sebuah ikatan di antara kami yang tidak akan pernah bisa dihancurkan oleh apapun dan siapapun.

Zero part 1

Ingatan pertamaku tentang Zero adalah saat aku pertama kali bertemu dengannya di pemakaman orangtuaku. Hari itu aku sama sekali tidak menangis, tidak, bukan karena aku tidak peduli, lebih tepatnya aku tidak mengerti. Saat itu umurku masih 4 tahun, yang kutahu harusnya hari itu mereka berdua pulang dari dinas luar mereka, setidaknya itu yang mereka katakan di telepon sekitar 3 jam yang lalu tapi setengah jam setelah itu tanteku – adik mama – datang ke rumah sambil menangis lalu menyuruhku ganti baju dan membawaku pergi dan disinilah aku sekarang.
Aku bosan hanya melihat orang dewasa yang menangis atau bermuka aneh – karena berusaha supaya tidak ikut menangis –, jadi aku mulai menjelajahi taman luas yang dipenuhi batu aneh - orangtuaku bahkan tidak sempat menjelaskan tentang kematian dan batu nisan padaku – dan saat itu aku bertemu dengannya, orang yang mulai hari ini akan menjadi kakakku biarpun saat itu aku dan dia sama-sama belum tahu, aku sangat senang karena akhirnya aku menemukan anak-anak di tengah lautan orang dewasa yang banjir ingus dan air mata. Dia lebih besar dariku jadi aku tahu dia pasti lebih tua dariku tapi masih lebih baik daripada tidak ada teman bermain sama sekali jadi aku menghampirinya.
“Kakak sedang apa?” tanyaku.
“Nggak ada, kamu ngapain disini? Nanti ibumu mencari, lho.” Kata Zero sambil bermain dengan ranting yang dia pungut entah dari mana.
“Sakura nggak sama mama.” jawabku “Mestinya dari tadi sudah sampai rumah tapi papa sama mama belum datang, terus tadi Sakura dibawa kesini jadi rumah Sakura sekarang kosong, Sakura harus cepat pulang soalnya nanti papa sama mama mencari.”
Zero hanya diam sambil menatapku setelah itu dia mengulurkan tangannya padaku aku meraih tangan itu dan dia membawaku kembali ke tempat dimana para orang dewasa tadi berada, aku melihat tanteku – yang saat itu juga melihat ke arahku – dan dia langsung memelukku, dia bersama seorang pria, yang kalau diperhatikan seperti Zero versi dewasa.
“Lho? Zero kamu dari mana? Ayah dari tadi mencari, lho.” kata ayah Zero.
“Tadi aku main di sebelah sana, terus anak ini datang jadi aku membawanya kesini.” Jawab Zero.
“Jadi kamu sudah kenal Sakura? Baguslah, kalau begini jadi lebih gampang.” kata ayah Zero lagi.
Aku dan Zero sama-sama bingung, apanya yang gampang? Aku yakin Zero juga berpikiran sama denganku.
“Mulai hari ini Sakura akan tinggal dengan kita. Kamu senang, kan? Kamu selalu mengeluh bosan sendirian saat ayah kerja, sekarang kamu punya adik, lho.” kata ayah Zero.
“Aku memang bosan kalau jaga rumah tapi aku nggak butuh adik cewek, apalagi yang masih kecil kayak gini, pasti dia cuma bisa mengeluh dan menangis.” kata Zero sambil menunjukku.
“Bukannya bagus? Mulai sekarang tugasmu menjaga dia supaya dia tidak mengeluh dan menangis.”
Zero menghela napas, tidak bisa melawan kata-kata ayahnya lagi, dia berbalik padaku lalu berbicara lagi, “Ya sudahlah, mau bagaimana lagi. Aku dari tadi belum menyebutkan namaku, ya? Namaku Zero. Jangan terlalu sering merepotkan, ya.”
“Namaku Sakura, mulai sekarang kita teman ya, kak!” jawabku semangat karena sejak lama aku mau punya saudara.
“Iya, aku tahu, dari tadi kamu menyebut namamu terus, sih. Oh, iya jangan panggil kakak, Zero saja, nggak apa-apa, kok.” katanya, kemudian dia berbalik mengikuti ayahnya yang mulai saat ini ayahku juga, sih, tapi dia kembali dan mengulurkan tangannya padaku sekali lagi.

“Ayo, nanti ditinggal, lho.” kata Zero dan untuk kedua kalinya hari itu aku dengan senang hati meraih tangan itu.

Long Time No Post and Happy New Year!

Heyho! Lama juga ya nggak nulis disini, dari Agustus? Terlalu sibuk kuliah jadinya ginilah, cerita-cerita yang dulu bisa selesai dalam waktu 3 hari sekarang makan seminggu, malah ada yang setahun baru jadi, manajemen waktunya jelek dan kebanyakan ngeles sih, haha...
Happy new year by the way biarpun jam 12 udah lewat hampir 19 jam yang lalu sih tapi mau gimana lagi? Setelah break entah berapa bulan akhirnya otak ini kembali bisa memproses plot biarpun menurutu tetap nggak lebih baik dari sebelumnya. Di kepala ada banyak, banget, proyek yang mau dikerja, ya cerpen bulanan lah, ya cerita panjang yang dibuat hanya untuk melatih skill dan mulai tahun ini bakal buat laporan aktivitas entah mingguan atau harian akan disesuaikan dengan kondisi biarpun mungkin pada akhirnya akan terbengkalai lagi, gue nyadar kok gue nggak telaten.
Sekarang lagi proses nulis epilog buat cerpen yang akan di-post disini sebelum jam 12, jadi sampai sini dulu.
Greetings from Dream Land :)