Hari ini Zero datang menjemput di kelasku, padahal SMP
dan SMA terpisah cukup jauh, sepertinya dia berlari kesini karena rambut dan
bajunya basah karena keringat.
“Udah siap?” tanya Zero begitu aku keluar dari kelas.
“Udah, sih tapi hari ini kita mau kemana?” tanyaku.
“Nanti juga kamu tahu sendiri, tapi kita mampir ke
beberapa tempat dulu, ya.” jawabnya sambil menarik, bukan, tidak seperti
biasanya hari ini dia tidak menarikku tapi dia menggandeng tanganku seperti yang
dia lakukan 10 tahun yang lalu.
Dia tidak main-main saat dia bilang akan mampir ke
beberapa tempat, kami mampir makan di restoran yang biasa kami datangi bersama
ayah, lalu ke taman air mancur untuk membelikanku es krim bahkan tanpa aku
meminta, kemudian kami ke toko bunga yang cukup jauh dari wilayah rumah kami
padahal ada sebuah toko bunga lain yang biasa kami datangi, kenapa?
Dia memesan sebuah buket daffodil lalu menyerahkannya
padaku.
“Pegang yang benar, ya. Jangan sampai buketnya rusak
saat kita sampai di tujuan terakhir kita.” katanya setelah membayar dan kembali
naik ke motor.
Setelah sekitar 20 menit Zero memberhentikan motornya
dan menyuruhku turun, aku tahu tempat ini, tapi kenapa dia membawaku kesini?
“Kamu ingat tempat ini?” tanyanya.
“Tentu saja ini tempat dimana kita pertama kali
bertemu, kan? Dan tempat dimana orangtuaku berada.” kataku, sekarang aku tahu
untuk apa buket daffodil ini. Sekali lagi dia menggandeng tanganku lalu
menuntunku ke makam kedua orangtuaku, aku semakin mempererat peganganku pada buket
daffodil di tanganku.
Begitu sampai di makam orangtuaku – yang letaknya
berdampingan – aku langsung menaruh buket daffodil itu kemudian mendoakan
mereka, Zero juga melakukan hal yang sama.
“Suatu hari nanti…” kata Zero setelah selesai berdoa “Setelah
mati aku juga ingin dimakamkan bersebelahan dengan orang yang paling berharga
bagiku, tentu saja bukan dalam waktu dekat.” dia tertawa setelah mengatakan
bagian terakhir.
“Kenapa hari ini kita kesini?” tanyaku pada Zero.
“Aku datang untuk minta izin sama orangtuamu.”
katanya.
“Minta izin? Untuk apa?” tanyaku semakin bingung
melihat Zero hari ini.
“Izin untuk sekali lagi mengklaim kamu menjadi
milikku.” kata Zero sambil nyengir.
“Heh? Maksudnya apa?” tanyaku pada Zero, entah sudah
berapa pertanyaan yang kuberikan untuknya hari ini.
“Hari itu kamu dengar aku mengakui perasaanku ke ayah,
kan?” kata Zero.
Ternyata
dia memang tahu, pikirku
“Cerita ini mungkin akan panjang, apa kamu masih tetap
mau dengar?” tanya Zero, entah sejak kapan dia memegang tanganku dan aku
mengangguk.
“Hari itu aku bilang sama ayah kalau aku menyayangimu,
bahkan jauh sebelum kita bertemu disini 10 tahun yang lalu.” kata Zero memulai
ceritanya.
“Sebelum itu? Bagaimana bisa?” tanyaku tapi Zero
melarangku bicara,
“Tolong, dengarkan ceritaku sampai habis.” pintanya
“Orangtuamu dan orangtuaku berteman baik sejak mereka
SMP, suatu hari mereka berjanji akan menjodohkan anak mereka, artinya jauh
sebelum kita lahir kita sudah terikat.” kemudian dia mengeluarkan sesuatu dari
kantong celananya, sepasang cincin kecil yang sudah pasti tidak akan cukup
untuk kami berdua.
“Ingat cincin ini? Sampai orangtuamu meninggal dan
kamu pindah ke rumahku kita memakainya biarpun aku mengikat cincinku dengan
sebuah rantai dan menjadikannya kalung karena aku tidak suka memakai cincin.”
tentu saja aku ingat cincin itu, itu satu dari sedikit peninggalan orangtuaku,
entah kapan dia mengambilnya dari kamarku.
“Tapi karena orangtuamu meninggal dan kamu diangkat
menjadi adikku sudah jelas pertunangan itu tidak bisa diteruskan, kan? Makanya
di hari kamu datang ke rumah ayah meminta kita melepaskannya. Tapi kemarin aku
nekad minta sama ayah supaya diteruskan saja dan kamu tahu jawabannya kan.”
kata Zero.
“Kamu sudah tahu perasaanku dan bagaimana aku
memperjuangkannya, kan? Sekarang giliranmu, aku mau dengar jawabanmu biarpun
nggak harus sekarang juga.” kata Zero menutup ceritanya.
“Nggak apa-apa, aku bisa jawab sekarang kok, biar mama
dan papaku juga dengar.” kataku.
“Zero, aku…” aku tahu perasaan ini sudah terlalu lama
ada sampai aku tidak tahu harus mulai darimana untuk menyampaikannya, kemudian
aku melirik cincin kecil di tangan Zero, aku ada ide!
Aku mengambil cincinku kemudian menatap langsung mata
Zero, hal yang sudah lama tidak bisa kulakukan.
“Aku juga sayang sama Zero, sejak hari pertama kita
ketemu disini.” kataku kemudian aku beralih ke makam orangtuaku, “Nggak
apa-apa, kan ma? Pa?” setelah itu aku kembali ke Zero.
“Udah impas, kan? Sekarang kita sudah sama-sama tahu
perasaan masing-masing…” belum sempat aku selesai bicara Zero sudah menarikku
ke pelukannya, seperti yang dia lakukan tadi pagi.
“Jangan kemana-mana, ya.” kata Zero sekali lagi
berbisik di telingaku.
“Nggak akan, kamu juga, ya.” balasku, setelah itu kami
pulang ke rumah karena ayah pasti sudah menunggu kami kembali.
Aku berdoa semoga kebahagiaan ini terus berlanjut,
tapi sepertinya doaku tidak terkabul.
No comments:
Post a Comment