Ingatan pertamaku tentang Zero adalah saat aku pertama
kali bertemu dengannya di pemakaman orangtuaku. Hari itu aku sama sekali tidak
menangis, tidak, bukan karena aku tidak peduli, lebih tepatnya aku tidak
mengerti. Saat itu umurku masih 4 tahun, yang kutahu harusnya hari itu mereka
berdua pulang dari dinas luar mereka, setidaknya itu yang mereka katakan di
telepon sekitar 3 jam yang lalu tapi setengah jam setelah itu tanteku – adik
mama – datang ke rumah sambil menangis lalu menyuruhku ganti baju dan membawaku
pergi dan disinilah aku sekarang.
Aku bosan hanya melihat orang dewasa yang menangis
atau bermuka aneh – karena berusaha supaya tidak ikut menangis –, jadi aku
mulai menjelajahi taman luas yang dipenuhi batu aneh - orangtuaku bahkan tidak
sempat menjelaskan tentang kematian dan batu nisan padaku – dan saat itu aku
bertemu dengannya, orang yang mulai hari ini akan menjadi kakakku biarpun saat
itu aku dan dia sama-sama belum tahu, aku sangat senang karena akhirnya aku
menemukan anak-anak di tengah lautan orang dewasa yang banjir ingus dan air
mata. Dia lebih besar dariku jadi aku tahu dia pasti lebih tua dariku tapi
masih lebih baik daripada tidak ada teman bermain sama sekali jadi aku
menghampirinya.
“Kakak sedang apa?” tanyaku.
“Nggak ada, kamu ngapain disini? Nanti ibumu mencari,
lho.” Kata Zero sambil bermain dengan ranting yang dia pungut entah dari mana.
“Sakura nggak sama mama.” jawabku “Mestinya dari tadi
sudah sampai rumah tapi papa sama mama belum datang, terus tadi Sakura dibawa
kesini jadi rumah Sakura sekarang kosong, Sakura harus cepat pulang soalnya
nanti papa sama mama mencari.”
Zero hanya diam sambil menatapku setelah itu dia
mengulurkan tangannya padaku aku meraih tangan itu dan dia membawaku kembali ke
tempat dimana para orang dewasa tadi berada, aku melihat tanteku – yang saat
itu juga melihat ke arahku – dan dia langsung memelukku, dia bersama seorang
pria, yang kalau diperhatikan seperti Zero versi dewasa.
“Lho? Zero kamu dari mana? Ayah dari tadi mencari,
lho.” kata ayah Zero.
“Tadi aku main di sebelah sana, terus anak ini datang
jadi aku membawanya kesini.” Jawab Zero.
“Jadi kamu sudah kenal Sakura? Baguslah, kalau begini
jadi lebih gampang.” kata ayah Zero lagi.
Aku dan Zero sama-sama bingung, apanya yang gampang?
Aku yakin Zero juga berpikiran sama denganku.
“Mulai hari ini Sakura akan tinggal dengan kita. Kamu
senang, kan? Kamu selalu mengeluh bosan sendirian saat ayah kerja, sekarang
kamu punya adik, lho.” kata ayah Zero.
“Aku memang bosan kalau jaga rumah tapi aku nggak
butuh adik cewek, apalagi yang masih kecil kayak gini, pasti dia cuma bisa
mengeluh dan menangis.” kata Zero sambil menunjukku.
“Bukannya bagus? Mulai sekarang tugasmu menjaga dia
supaya dia tidak mengeluh dan menangis.”
Zero menghela napas, tidak bisa melawan kata-kata
ayahnya lagi, dia berbalik padaku lalu berbicara lagi, “Ya sudahlah, mau
bagaimana lagi. Aku dari tadi belum menyebutkan namaku, ya? Namaku Zero. Jangan
terlalu sering merepotkan, ya.”
“Namaku Sakura, mulai sekarang kita teman ya, kak!”
jawabku semangat karena sejak lama aku mau punya saudara.
“Iya, aku tahu, dari tadi kamu menyebut namamu terus,
sih. Oh, iya jangan panggil kakak, Zero saja, nggak apa-apa, kok.” katanya,
kemudian dia berbalik mengikuti ayahnya yang mulai saat ini ayahku juga, sih,
tapi dia kembali dan mengulurkan tangannya padaku sekali lagi.
“Ayo, nanti ditinggal, lho.” kata Zero dan untuk kedua
kalinya hari itu aku dengan senang hati meraih tangan itu.
No comments:
Post a Comment