Selama sebulan terakhir rutinitasku sedikit berubah,
aku tetap mengurus ayah dan membuat sarapan di pagi hari, tapi sekarang aku
harus meninggalkan rumah lebih awal supaya bisa naik bus tepat waktu. Ayah
menawarkan untuk mengantarku setiap hari tapi aku menolak, ayah sudah sibuk,
aku tidak mau menambah pekerjaannya. Setelah itu setiap hari sepulang sekolah
aku pergi menemani Zero, dari jam pulang sekolah sampai malam aku duduk di
sebelahnya, berharap dia akan bangun dan tersenyum lagi padaku.
Hari ini juga aku pergi mengunjungi Zero, saat sampai
di depan kamarnya aku melihat banyak dokter dan suster keluar masuk dari sana.
“Anu… apa ada masalah?” tanyaku pada salah seorang
suster.
“Kamu keluarganya?” tanya suster itu.
“Ya, aku adiknya.” jawabku.
“Bisa tunggu di luar dulu, saat ini kondisinya sedang kurang
bagus.” katanya lalu dia kembali sibuk dengan pekerjaannya.
Kurang bagus? Apa Zero akan pergi juga? Seperti papa
dan mama? Aku tidak mau! Lagi-lagi aku menangis, aku berdoa semoga Zero
baik-baik saja dan dia akan cepat bangun dan tertawa lagi seperti dulu.
“Sudah bisa masuk ke dalam, lho. Memang belum sadar,
sih tapi dari tadi dia memanggil Sakura, lho, kamu kenal?” tanya suster tadi
sekitar satu jam kemudian.
Tidak perlu di kasih tahu dua kali aku langsung lari
ke kamar Zero dan duduk di sampingnya seperti yang kulakukan sebulan terakhir.
“Zero, aku disini, lho. Setiap hari aku disini
menunggu kamu bangun. Ayah khawatir, lho, Nina juga, makanya cepat bangun…”
kataku sambil memegang tangannya, dan kurasakan tangan itu menggengam balik
tanganku, kulihat Zero membuka matanya lalu dia menoleh ke arahku.
“Sa…kura?” panggil Zero dengan suara yang masih lemah.
“Zero! Akhirnya bangun juga! Tunggu aku panggil
dokter.” kataku sambil beranjak dari kursiku tapi suara Zero menghentikanku.
“Aku sayang kamu.” kata Zero masih dengan suara lemah
yang sama tapi tetap membuat jantungku berdetak kencang.
“Aku juga. Sejak 10 tahun yang lalu perasaanku sama
sekali tidak berubah, lho.”kataku lalu memeluk Zero.
“Aku tahu.” katanya “Tadi aku bertemu ibuku, lho.”
“Eh? Serius?” tanyaku kaget.
“Bukan cuma itu, aku juga ketemu ayah dan ibumu,
mereka bilang masih ada yang harus kukerjakan jadi aku harus cepat bangun,
setelah itu aku bangun dan di depan mataku sudah ada kamu.” kata Zero
“Aku… panggil dokter sekarang, ya?” kataku sambil
berjalan keluar dari kamar dan Zero mengangguk.
Setelah diperiksa, keadaan Zero memang sudah jauh
membaik padahal kata mereka tadi Zero sudah hampir mati, Zero bilang mungkin
dia terbangun karena setiap hari aku ribut menyuruhnya bangun, ada-ada saja.
Setelah itu kadang Zero masih harus periksa ke rumah
sakit, apalagi tangan kanannya patah dan butuh waktu untuk sembuh.
“Untung aku kidal, jadi nggak pusing, deh. Masih belum
bisa bawa motor, sih.” katanya.
Ya setidaknya sekarang dia sudah bangun, dan aku yakin
waktu sebulan yang kulewati tanpa Zero bisa dibayar dengan masa depan yang ada
di depan sana.
Karena aku tahu, kalau bukan kamu sepertinya tidak
bisa.
END
No comments:
Post a Comment