Malam itu sekitar jam 7 saat aku baru saja
memyelesaikan PR-ku, aku mendengar suara motor Zero memasuki garasi rumah kami,
aku langsung berlari turun ke bawah untuk membukakan pintu untuknya karena dia
menghilangkan kuncinya beberapa hari yang lalu.
Saat aku membuka pintu Zero baru saja akan menekan bel
rumah dan dia langsung tersenyum begitu melihatku sangat berbeda dengan
ekspresinya tadi pagi saat aku membangunkannya.
"Aku pulang." kata Zero masih dengan
senyuman yang sangat kusukai itu.
"Selamat datang, sudah makan?" tanyaku.
"Belum dua kali nih, hari ini masak apa?"
Zero balik bertanya sambil mengikutiku masuk ke dalam.
“Belum masak apa-apa, sih, aku baru selesai bikin PR,
sih kecuali Zero nggak masalah cuma makan nasi putih aja.” kataku.
“Heh? Serius? Tahu gitu aku makan di luar aja.”
protesnya.
"Bercanda, udah kok, makan, yuk!" kataku
lagi sambil menarik Zero masuk.
Setidaknya kalau di rumah aku tidak perlu ingat kalau
Zero punya pacar dan aku bisa memilikinya untukku sendiri saja, aku bersyukur
Zero adalah kakakku, meskipun karena kenyataan itu aku tidak bisa benar-benar
memilikinya dan aku tahu kalau Zero tidak akan pernah melihatku lebih dari
adiknya yang cerewet dan merepotkan.
Setelah selesai makan seperti biasa kami akan menonton
TV di ruang tengah, setiap malam pasti seperti ini, kami akan menonton saluran
yang memutar film-film sepanjang hari, biarpun Zero adalah penggemar film
action dan sejenisnya dia sering menggerutu saat menonton film di saluran itu
karena filmnya pasti berbahasa Inggris – yang tidak dikuasai Zero, biarpun ada
subtitle dia masih saja protes, katanya bahasa Inggris saja sudah membuat kepalanya
pusing dan subtitle itu membuat kepalanya tambah pusing.
“Kenapa di dunia ini harus ada yang namanya bahasa
Inggris, sih?” gerutunya untuk ke sekian kalinya.
“Karena bahasa Inggris itu bahasa internasional dan
kebanyakan orang mengerti, kalaupun tidak kan ada subtitlenya.” kataku sambil
mengambil permen yang ada di depanku, setiap malam saat menonton film pasti aku
akan menyiapkan cemilan di meja untuk kami.
“Dan sayangnya aku bukan bagian dari “kebanyakan
orang” itu.” katanya sambil memasukkan lima permen sekaligus ke mulutnya.
“Padahal dari dulu ayah sudah suruh Zero ikut les biar
bisa mengurangi sakit kepala itu, kan?” tanyaku setelah kembali dari dapur
untuk mengambil minum.
“Percuma, biar gimana juga aku nggak bakal ngerti.”
kata Zero dengan mulut yang masih penuh permen.
Setelah itu kami tidak membahas persoalan ini lagi,
setelah melewati setengah film, ayah pulang dan bergabung menonton bersama kami
setelah itu aku menyiapkan makan malam untuk ayah, mencuci piringnya lalu
kembali ke kamar untuk tidur, tapi sebelum aku sempat menaiki anak tangga
pertama ayah memanggilku.
“Ada apa ayah? Butuh sesuatu? Apa ada pekerjaan kantor
yang harus diselesaikan malam ini? Aku buatkan kopi, ya?” tanyaku begitu duduk
di sebelah ayah di ruang tengah.
“Ah, tidak kok, hari ini ayah sudah tidak ada kerjaan,
kok maaf ya padahal kamu sudah mau tidur.” kata ayah sambil mengacak rambutku, ah sudahlah, sudah mau tidur ini,
pikirku.
“Ayah cuma mau bilang terima kasih, beberapa tahun
terakhir ayah terlalu sibuk, selalu pulang malam atau pergi dinas beberapa hari
bahkan minggu dan meninggalkanmu sendirian untuk mengurus Zero, padahal
mestinya dia yang lebih bisa diandalkan.” kata ayah.
“Nggak apa-apa ayah, anggap saja ini bentuk terima
kasihku karena ayah dan Zero sudah mengizinkanku tinggal disini, kalau dulu
ayah tidak membawaku pulang kesini entah dimana aku sekarang, lagian aku juga
suka kok mengurus Zero, rasanya seperti punya kakak sekaligus adik.” kataku
sambil tersenyum.
“Ayah tahu kalau dulu ayah membawamu kesini karena
kamu tidak punya kerabat lain, tapi ayah tidak mau kamu berpikir kalau kamu itu
orang luar, rumah ini rumahmu, kamu boleh minta apa saja, kamu boleh egois,
kamu bisa manja sama ayah atau Zero,” kata ayah.
“Tenang saja ayah, aku tidak pernah merasa seperti
orang luar kok, ayah tidak usah khawatir,” kataku “...Aku sangat bersyukur ayah
menjadi ayahku dan aku sangat senang punya Zero sebagai kakakku, terima kasih,
aku merasa kalau ayah dan Zero sudah memberiku lebih dari yang papa dan mamaku
pernah berikan.” aku sangat ingin menangis saat mengatakan ini tapi aku tidak
mau membuat ayah khawatir, ayah sudah cukup lelah dengan pekerjaannya belum
lagi Zero yang terkadang menuntut terlalu banyak, aku tidak boleh menambah
bebannya, biarpun aku mengatakan kalau aku tidak pernah merasa seperti orang
luar tentu saja aku merasa seperti itu, tapi aku tahu betul kalau aku tidak
boleh merasa seperti itu karena itu akan membuat ayah sedih.
Setelah itu kami mengobrol sebentar kemudian ayah
menyuruhku tidur karena sudah larut malam jadi aku kembali ke kamarku,
lagi-lagi sebelum aku sempat menginjak anak tangga pertama ayah kembali
memanggilku.
“Tolong terus bantu ayah menjaga Zero, ya.” kata ayah,
aku hanya mengangguk lalu naik ke kamarku.
Aku hampir tidak tidur malam itu karena memikirkan
pembicaraanku dengan ayah, kenapa ayah mendadak membicarakan ini? Aku tidak
mengerti, aku merasakan firasat buruk tapi tidak tahu apa alasannya, menjelang
pagi baru aku bisa tidur, untung aku masih cukup sadar untuk mengetahui kalau
sekarang sudah memasuki hari Sabtu, tidak apalah aku tidur sedikit lebih lama.
Pikirku seperti itu tapi saat aku baru saja memasuki
dunia mimpi suara ribut dari bawah membangunkanku.
Aku langsung ke sumber keributan yaitu dapur rumah
kami, disana sudah ada Zero dan ayah yang entah sedang melakukan apa aku tidak
tahu karena dapur itu terlalu berantakan.
“Ayah dan Zero ngapain?” tanyaku sambil bersandar di
pintu dapur.
“Pagi Sakura, karena tadi ayah lihat tidurmu nyenyak
banget jadi ayah pikir hari ini ayah saja yang bikin sarapan tapi kayaknya
gagal nih.” kata Ayah sambil menyapu tepung yang entah bagaimana tumpah di
lantai.
“Ayah kan bisa langsung membangunkanku saja, biar aku
yang bersih-bersih terus masak, ayah sama Zero tunggu aja sambil nonton TV atau
apa, setengah jam juga selesai.” kataku, belum sempat mereka protes aku sudah
mendorong mereka keluar dari dapur, bisa gawat kalau mereka disini lebih lama
lagi.
Setengah jam lebih sedikit aku sudah selesai
membersihkan dapur dan membuat sarapan, ayah dan Zero sepertinya mencoba untuk
membuat pancake – yang berakhir gagal total – karena aku menemukan sekotak
pancake mix yang entah bagaimana selamat dari kekacauan tadi jadi aku memanfaatkannya.
Setelah memastikan semua siap, aku segera pergi ke ruang tengah untuk memanggil
ayah dan Zero tapi sebelum sempat masuk ke ruang tengah langkahku terhenti
karena mendengar percakapan ayah dan Zero.
“Jangan gila kamu! Biar tidak ada hubungan darah
kalian itu saudara! Lagian kamu punya pacar kan? Mau dikemanakan?” aku bisa
dengar suara ayah yang seperti teriakan yang ditahan, mungkin supaya aku tidak
dengar.
Saudara?
Apa mereka sedang membicarakan tentang aku? Ada apa?, lalu
aku berusaha untuk menangkap apa yang sedang mereka bicarakan.
“Ya habis gimana lagi? Perasaan begini nggak bisa diatur!
Kalau soal Nina aku bakal jelasin semuanya ke dia.” kali ini Zero yang bicara
dengan suara yang hanya satu atau dua oktaf di bawah ayah.
“Nah terus? Kalau kamu putusin pacarmu yang sekarang
belum tentu dia bakal terima, kan?” kata ayah masih dengan volume suara yang
sama.
“Nggak masalah! Yang jelas aku suka sama Sakura!
Terserah dia terima atau nggak.” kata Zero dengan volume yang lebih besar dari
sebelumnya dan aku yakin kalau sekarang aku masih di dapur aku pasti masih bisa
mendengarnya.
Hah? Apa?
Apa aku tidak salah dengar? Zero menyukaiku? Yang benar saja! Sejak kapan?
Berarti sekarang perasaan kami sama? Aku tidak mengerti,
pikiranku mendadak kacau, kalau saja aku tidak ingat pancake yang kutinggalkan
di dapur mungkin aku akan terus mematung di tempatku berdiri sekarang, aku berusaha memasang muka tidak tahu apa-apa
kemudian masuk ke ruang tengah.
“Sarapannya udah jadi, makan yuk!” kataku berusaha ceria
yang semoga tidak ketahuan, soalnya Zero sering peka di waktu yang tidak tepat.
“Ah, kebetulan, sudah lapar nih habis dari tadi yang
dilihat cuma channel masakan sih.” kata ayah.
“Saking nggak sabarnya mau makan jadinya nonton
channel begitu, yang ada malah tambah lapar.” kata Zero sambil tertawa.
Ayah dan Zero bersikap seperti tidak percakapan tadi
tidak ada, mungkin supaya aku tidak curiga tapi di kepalaku kata-kata Zero yang
terakhir terus terputar di kepalaku seperti sebuah kaset rusak yang terus
memutar bagian yang sama.
Setelah makan dan beres-beres rumah aku berpikir untuk
kembali tidur karena efek kurang tidur tadi malam mulai terasa tapi entah
kenapa – lagi-lagi – sebelum aku menginjakkan anak tangga pertama aku dipanggil
tapi kali ini yang memanggilku adalah Zero.
“Sakura besok kamu ada urusan?” tanya Zero.
“Be... besok? Ng... nggak ada, sih. Ke... kenapa?”
kataku gugup, sejak menyadari perasaanku untuk Zero saja aku berusaha untuk
terlihat normal tapi setelah mendengar pernyataan cinta tidak langsung tadi aku
jadi tidak tahu harus bagaimana, seakan-akan semua trik yang kupakai selama ini
untuk menutupi perasaanku hilang tanpa bekas.
“Kamu kenapa? Ngomongnya aneh? Sakit? Mukamu merah
lho.” kata Zero sambil mendekat kepadaku.
“Eh? Masa sih?” kataku sambil memegang kedua pipiku.
“Nggak demam, sih. Kamu baik-baik aja kan?” tanya Zero
sambil menaruh tangannya di dahiku.
“Nggak apa-apa, pengaruh kurang tidur kali, tadi malam
aku nggak bisa tidur.” jawabku “Besok kenapa?” tanyaku berusaha kembali ke apa
yang pertama kali menjadi alasan kenapa Zero memanggilku.
“Besok aku mau keluar sama Nina terus ayah katanya ada
kerjaan sampai malam kamu nggak apa-apa di rumah sendirian?” tanya Zero.
“Nggak apa-apa. lagian kalau bosan aku bisa telepon
temanku buat temani aku keluar.” kataku lalu berusaha untuk beranjak naik ke
kamarku, aku bilang berusaha karena Zero seperti mau menahanku untuk ada disitu
selama mungkin, dia bahkan memaksaku ke ruang tengah untuk menonton apa saja
program yang disiarkan sekarang.
“Zero aku ngantuk, biarin aku tidur dong.” pintaku
setelah Zero berhasil menarikku turun ke ruang tengah.
“Hmm... ya udah deh, naik aja.” kata Zero yamg
akhirnya melepasku untuk tidur.
Saat aku sudah sampai di pintu ruang tengah Zero
bersuara lagi.
“Jangan lupa mimpiin aku, ya!” katanya sambil nyengir,
aku tidak tahu harus bilang apa, aku merasakan lagi-lagi mukaku memerah
kemudian aku lari ke kamarku.
Aku tahu Zero pasti hanya bercanda, tidak mungkin dia
akan menunjukkan perasaannya, setidaknya sampai dia menyatakannya di depanku. Sejak
dulu dia memang sering mengatakan hal-hal seperti itu tapi sekarang berbeda,
aku tidak bisa menganggap kata-kata itu hanya candaan lagi.
No comments:
Post a Comment