Thursday, January 1, 2015

Zero part 4

Malam itu sekitar jam 7 saat aku baru saja memyelesaikan PR-ku, aku mendengar suara motor Zero memasuki garasi rumah kami, aku langsung berlari turun ke bawah untuk membukakan pintu untuknya karena dia menghilangkan kuncinya beberapa hari yang lalu.
Saat aku membuka pintu Zero baru saja akan menekan bel rumah dan dia langsung tersenyum begitu melihatku sangat berbeda dengan ekspresinya tadi pagi saat aku membangunkannya.
"Aku pulang." kata Zero masih dengan senyuman yang sangat kusukai itu.
"Selamat datang, sudah makan?" tanyaku.
"Belum dua kali nih, hari ini masak apa?" Zero balik bertanya sambil mengikutiku masuk ke dalam.
“Belum masak apa-apa, sih, aku baru selesai bikin PR, sih kecuali Zero nggak masalah cuma makan nasi putih aja.” kataku.
“Heh? Serius? Tahu gitu aku makan di luar aja.” protesnya.
"Bercanda, udah kok, makan, yuk!" kataku lagi sambil menarik Zero masuk.
Setidaknya kalau di rumah aku tidak perlu ingat kalau Zero punya pacar dan aku bisa memilikinya untukku sendiri saja, aku bersyukur Zero adalah kakakku, meskipun karena kenyataan itu aku tidak bisa benar-benar memilikinya dan aku tahu kalau Zero tidak akan pernah melihatku lebih dari adiknya yang cerewet dan merepotkan.
Setelah selesai makan seperti biasa kami akan menonton TV di ruang tengah, setiap malam pasti seperti ini, kami akan menonton saluran yang memutar film-film sepanjang hari, biarpun Zero adalah penggemar film action dan sejenisnya dia sering menggerutu saat menonton film di saluran itu karena filmnya pasti berbahasa Inggris – yang tidak dikuasai Zero, biarpun ada subtitle dia masih saja protes, katanya bahasa Inggris saja sudah membuat kepalanya pusing dan subtitle itu membuat kepalanya tambah pusing.
“Kenapa di dunia ini harus ada yang namanya bahasa Inggris, sih?” gerutunya untuk ke sekian kalinya.
“Karena bahasa Inggris itu bahasa internasional dan kebanyakan orang mengerti, kalaupun tidak kan ada subtitlenya.” kataku sambil mengambil permen yang ada di depanku, setiap malam saat menonton film pasti aku akan menyiapkan cemilan di meja untuk kami.
“Dan sayangnya aku bukan bagian dari “kebanyakan orang” itu.” katanya sambil memasukkan lima permen sekaligus ke mulutnya.
“Padahal dari dulu ayah sudah suruh Zero ikut les biar bisa mengurangi sakit kepala itu, kan?” tanyaku setelah kembali dari dapur untuk mengambil minum.
“Percuma, biar gimana juga aku nggak bakal ngerti.” kata Zero dengan mulut yang masih penuh permen.
Setelah itu kami tidak membahas persoalan ini lagi, setelah melewati setengah film, ayah pulang dan bergabung menonton bersama kami setelah itu aku menyiapkan makan malam untuk ayah, mencuci piringnya lalu kembali ke kamar untuk tidur, tapi sebelum aku sempat menaiki anak tangga pertama ayah memanggilku.
“Ada apa ayah? Butuh sesuatu? Apa ada pekerjaan kantor yang harus diselesaikan malam ini? Aku buatkan kopi, ya?” tanyaku begitu duduk di sebelah ayah di ruang tengah.
“Ah, tidak kok, hari ini ayah sudah tidak ada kerjaan, kok maaf ya padahal kamu sudah mau tidur.” kata ayah sambil mengacak rambutku, ah sudahlah, sudah mau tidur ini, pikirku.
“Ayah cuma mau bilang terima kasih, beberapa tahun terakhir ayah terlalu sibuk, selalu pulang malam atau pergi dinas beberapa hari bahkan minggu dan meninggalkanmu sendirian untuk mengurus Zero, padahal mestinya dia yang lebih bisa diandalkan.” kata ayah.
“Nggak apa-apa ayah, anggap saja ini bentuk terima kasihku karena ayah dan Zero sudah mengizinkanku tinggal disini, kalau dulu ayah tidak membawaku pulang kesini entah dimana aku sekarang, lagian aku juga suka kok mengurus Zero, rasanya seperti punya kakak sekaligus adik.” kataku sambil tersenyum.
“Ayah tahu kalau dulu ayah membawamu kesini karena kamu tidak punya kerabat lain, tapi ayah tidak mau kamu berpikir kalau kamu itu orang luar, rumah ini rumahmu, kamu boleh minta apa saja, kamu boleh egois, kamu bisa manja sama ayah atau Zero,” kata ayah.
“Tenang saja ayah, aku tidak pernah merasa seperti orang luar kok, ayah tidak usah khawatir,” kataku “...Aku sangat bersyukur ayah menjadi ayahku dan aku sangat senang punya Zero sebagai kakakku, terima kasih, aku merasa kalau ayah dan Zero sudah memberiku lebih dari yang papa dan mamaku pernah berikan.” aku sangat ingin menangis saat mengatakan ini tapi aku tidak mau membuat ayah khawatir, ayah sudah cukup lelah dengan pekerjaannya belum lagi Zero yang terkadang menuntut terlalu banyak, aku tidak boleh menambah bebannya, biarpun aku mengatakan kalau aku tidak pernah merasa seperti orang luar tentu saja aku merasa seperti itu, tapi aku tahu betul kalau aku tidak boleh merasa seperti itu karena itu akan membuat ayah sedih.
Setelah itu kami mengobrol sebentar kemudian ayah menyuruhku tidur karena sudah larut malam jadi aku kembali ke kamarku, lagi-lagi sebelum aku sempat menginjak anak tangga pertama ayah kembali memanggilku.
“Tolong terus bantu ayah menjaga Zero, ya.” kata ayah, aku hanya mengangguk lalu naik ke kamarku.
Aku hampir tidak tidur malam itu karena memikirkan pembicaraanku dengan ayah, kenapa ayah mendadak membicarakan ini? Aku tidak mengerti, aku merasakan firasat buruk tapi tidak tahu apa alasannya, menjelang pagi baru aku bisa tidur, untung aku masih cukup sadar untuk mengetahui kalau sekarang sudah memasuki hari Sabtu, tidak apalah aku tidur sedikit lebih lama.
Pikirku seperti itu tapi saat aku baru saja memasuki dunia mimpi suara ribut dari bawah membangunkanku.
Aku langsung ke sumber keributan yaitu dapur rumah kami, disana sudah ada Zero dan ayah yang entah sedang melakukan apa aku tidak tahu karena dapur itu terlalu berantakan.
“Ayah dan Zero ngapain?” tanyaku sambil bersandar di pintu dapur.
“Pagi Sakura, karena tadi ayah lihat tidurmu nyenyak banget jadi ayah pikir hari ini ayah saja yang bikin sarapan tapi kayaknya gagal nih.” kata Ayah sambil menyapu tepung yang entah bagaimana tumpah di lantai.
“Ayah kan bisa langsung membangunkanku saja, biar aku yang bersih-bersih terus masak, ayah sama Zero tunggu aja sambil nonton TV atau apa, setengah jam juga selesai.” kataku, belum sempat mereka protes aku sudah mendorong mereka keluar dari dapur, bisa gawat kalau mereka disini lebih lama lagi.
Setengah jam lebih sedikit aku sudah selesai membersihkan dapur dan membuat sarapan, ayah dan Zero sepertinya mencoba untuk membuat pancake – yang berakhir gagal total – karena aku menemukan sekotak pancake mix yang entah bagaimana selamat dari kekacauan tadi jadi aku memanfaatkannya. Setelah memastikan semua siap, aku segera pergi ke ruang tengah untuk memanggil ayah dan Zero tapi sebelum sempat masuk ke ruang tengah langkahku terhenti karena mendengar percakapan ayah dan Zero.
“Jangan gila kamu! Biar tidak ada hubungan darah kalian itu saudara! Lagian kamu punya pacar kan? Mau dikemanakan?” aku bisa dengar suara ayah yang seperti teriakan yang ditahan, mungkin supaya aku tidak dengar.
Saudara? Apa mereka sedang membicarakan tentang aku? Ada apa?, lalu aku berusaha untuk menangkap apa yang sedang mereka bicarakan.  
“Ya habis gimana lagi? Perasaan begini nggak bisa diatur! Kalau soal Nina aku bakal jelasin semuanya ke dia.” kali ini Zero yang bicara dengan suara yang hanya satu atau dua oktaf di bawah ayah.
“Nah terus? Kalau kamu putusin pacarmu yang sekarang belum tentu dia bakal terima, kan?” kata ayah masih dengan volume suara yang sama.
“Nggak masalah! Yang jelas aku suka sama Sakura! Terserah dia terima atau nggak.” kata Zero dengan volume yang lebih besar dari sebelumnya dan aku yakin kalau sekarang aku masih di dapur aku pasti masih bisa mendengarnya.
Hah? Apa? Apa aku tidak salah dengar? Zero menyukaiku? Yang benar saja! Sejak kapan? Berarti sekarang perasaan kami sama? Aku tidak mengerti, pikiranku mendadak kacau, kalau saja aku tidak ingat pancake yang kutinggalkan di dapur mungkin aku akan terus mematung di tempatku berdiri sekarang,  aku berusaha memasang muka tidak tahu apa-apa kemudian masuk ke ruang tengah.
“Sarapannya udah jadi, makan yuk!” kataku berusaha ceria yang semoga tidak ketahuan, soalnya Zero sering peka di waktu yang tidak tepat.
“Ah, kebetulan, sudah lapar nih habis dari tadi yang dilihat cuma channel masakan sih.” kata ayah.
“Saking nggak sabarnya mau makan jadinya nonton channel begitu, yang ada malah tambah lapar.” kata Zero sambil tertawa.
Ayah dan Zero bersikap seperti tidak percakapan tadi tidak ada, mungkin supaya aku tidak curiga tapi di kepalaku kata-kata Zero yang terakhir terus terputar di kepalaku seperti sebuah kaset rusak yang terus memutar bagian yang sama.
Setelah makan dan beres-beres rumah aku berpikir untuk kembali tidur karena efek kurang tidur tadi malam mulai terasa tapi entah kenapa – lagi-lagi – sebelum aku menginjakkan anak tangga pertama aku dipanggil tapi kali ini yang memanggilku adalah Zero.
“Sakura besok kamu ada urusan?” tanya Zero.
“Be... besok? Ng... nggak ada, sih. Ke... kenapa?” kataku gugup, sejak menyadari perasaanku untuk Zero saja aku berusaha untuk terlihat normal tapi setelah mendengar pernyataan cinta tidak langsung tadi aku jadi tidak tahu harus bagaimana, seakan-akan semua trik yang kupakai selama ini untuk menutupi perasaanku hilang tanpa bekas.
“Kamu kenapa? Ngomongnya aneh? Sakit? Mukamu merah lho.” kata Zero sambil mendekat kepadaku.
“Eh? Masa sih?” kataku sambil memegang kedua pipiku.
“Nggak demam, sih. Kamu baik-baik aja kan?” tanya Zero sambil menaruh tangannya di dahiku.
“Nggak apa-apa, pengaruh kurang tidur kali, tadi malam aku nggak bisa tidur.” jawabku “Besok kenapa?” tanyaku berusaha kembali ke apa yang pertama kali menjadi alasan kenapa Zero memanggilku.
“Besok aku mau keluar sama Nina terus ayah katanya ada kerjaan sampai malam kamu nggak apa-apa di rumah sendirian?” tanya Zero.
“Nggak apa-apa. lagian kalau bosan aku bisa telepon temanku buat temani aku keluar.” kataku lalu berusaha untuk beranjak naik ke kamarku, aku bilang berusaha karena Zero seperti mau menahanku untuk ada disitu selama mungkin, dia bahkan memaksaku ke ruang tengah untuk menonton apa saja program yang disiarkan sekarang.
“Zero aku ngantuk, biarin aku tidur dong.” pintaku setelah Zero berhasil menarikku turun ke ruang tengah.
“Hmm... ya udah deh, naik aja.” kata Zero yamg akhirnya melepasku untuk tidur.
Saat aku sudah sampai di pintu ruang tengah Zero bersuara lagi.
“Jangan lupa mimpiin aku, ya!” katanya sambil nyengir, aku tidak tahu harus bilang apa, aku merasakan lagi-lagi mukaku memerah kemudian aku lari ke kamarku.

Aku tahu Zero pasti hanya bercanda, tidak mungkin dia akan menunjukkan perasaannya, setidaknya sampai dia menyatakannya di depanku. Sejak dulu dia memang sering mengatakan hal-hal seperti itu tapi sekarang berbeda, aku tidak bisa menganggap kata-kata itu hanya candaan lagi.

No comments:

Post a Comment