Beberapa hari setelah kedatanganku ke rumah ini aku
berusaha untuk menyesuaikan diri di rumah ini, aku harus berterima kasih pada kedua
orangtua kandungku yang semasa hidup menghabiskan waktnya bekerja sampai akhir
hidup mereka untuk menghidupiku dan setiap hari menitipkanku di penitipan anak,
berkat itu aku tumbuh menjadi anak yang cukup mandiri dan dewasa untuk anak seumuranku,
biarpun masih ada hal yang tidak kumengerti tapi Zero dan ayahnya mengajariku
hal-hal yang tidak sempat orangtuaku ajarkan padaku, contohnya ya dua hal yang
kusebut tadi.
Ayah baruku memberikanku kamar sendiri yang terletak
tepat di sebelah kamar Zero di lantai dua, biasanya aku tidak mengalami
kesulitan untuk tidur bahkan tanpa dinyanyikan lagu atau dibacakan cerita
pengantar tidur tapi ada saat dimana setelah tertidur aku akan bermimpi buruk –
mimpi tentang papa dan mamaku -, tapi saat itu terjadi aku hanya menangis dalam
diam dan berusaha supaya Zero - atau lebih parahnya ayah - tidak mendapatiku
menangis, aku tidak ingin merepotkan mereka dengan membangunkan mereka di
tengah malam dengan tangisanku, tapi suatu malam entah bagaimana Zero
sepertinya mendengarku menangis dan langsung masuk ke kamarku.
“Kenapa? Kamu lapar? Mau ditemani ke toilet? Atau
jangan-jangan kamu ngompol lagi?” tanyanya begitu dia mendapatiku menangis
sambil memeluk boneka pemberian orangtuaku.
“Kenapa Zero disini?” aku malah bertanya balik.
“Kamu tuh ya, ditanya malah balik nanya.” Zero
menghela nafas lalu lanjut bicara “Sejak kamu datang aku merasa aneh,
orangtuamu mendadak hilang dari hadapanmu dan tidak pernah kembali lagi tapi kamu
terlihat baik-baik saja, padahal ayah sudah menjelaskan kemana mereka pergi
tapi kamu tetap biasa saja, makanya aku pikir kamu sama seperti aku.”
“Eh? Maksudnya apa?” kali ini aku benar-benar tidak
mengerti apa maksud Zero. Sama? Apanya?
“Aku hampir sama sepertimu, tapi aku hanya kehilangan
ibuku, kamu tidak pernah melihatnya sejak datang kesini kan? Dia pergi ke
tempat yang sama dengan ayah dan ibumu sekitar dua tahun yang lalu.” kata Zero
mengawali ceritanya “Awalnya aku menangis setiap hari, aku terus bertanya pada
ayah kemana ibu pergi tapi bukannya mendapat jawaban yang kudapat hanya ekspresi
sedih ayah, makanya aku belajar untuk menangis tanpa suara seperti yang kamu
lakukan.”
“Tidak apa-apa kok kalau kamu menangis, kapan saja
tidak masalah asalkan kamu cuma menangis di depanku, lebih ringan kalau ada
yang tahu apa masalahmu kan? Setiap saat kamu mau menangis panggil saja aku,
aku pasti akan langsung ada di sebelahmu.” kata Zero dan saat itu juga aku
menangis, air mataku mengalir sangat deras malam itu, seandainya bisa aku ingin
menangis meraung-raung tapi aku tahu aku pasti akan membangunkan ayah jadi aku
menahannya tapi Zero langsung menarikku ke pelukannya.
“Kalau begini biar kamu berteriak aku yakin suaramu
tidak akan terdengar, berteriaklah sepuasmu, aku akan menunggu sampai kamu
selesai.” kata Zero dan aku melakukan sesuai yang dia katakan, aku berteriak
sepuasku sampai aku tidak bisa mengeluarkan suara sama sekali, paginya ayah
jadi panik karena tiba-tiba suaraku hilang tapi Zero bilang kalau aku
kehilangan suaraku karena masuk angin dan ayah percaya, malam itu adalah
rahasia pertama yang kubagi dengan Zero.
Dan mungkin sejak malam itu ada sebuah ikatan di
antara kami yang tidak akan pernah bisa dihancurkan oleh apapun dan siapapun.
No comments:
Post a Comment