Thursday, January 1, 2015

Zero part 8

Sejak hari itu, setiap hari aku menghabiskan waktuku dengan Zero, tentu saja aku juga tidak melupakan hal-hal lain yang harus kukerjakan, Zero juga mengerti, apalagi saat di rumah, hanya aku yang bisa diandalkan kalau tidak insiden pancake itu bisa terulang lagi.
Dulu saat ditanya apa aku punya orang yang disukai aku hanya tersenyum dan tidak bilang apa-apa, sekarang juga begitu, aku tidak mau orang-orang menganggap aku dan Zero aneh makanya kami merahasiakannya, ada Nina yang mengetahuinya juga tapi sepertinya dia juga diam. Dia menyadari perasaan Zero bahkan sebelum dia sendiri menyadarinya dan dia tetap mau pacaran dengan Zero, aku tahu pasti sakit sekali, aku harus cepat minta maaf padanya, untuk mengambil orang yang berharga baginya, aku langsung mengirim pesan kepada Nina untuk bertemu sepulang sekolah hari ini.
“Hari ini langsung pulang?” tanya Zero seperti biasa begitu kami sampai di sekolah.
“Hari ini aku ada urusan, kamu hari ini sendiri nggak apa-apa?” tanyaku sambil menyerahkan helm ke Zero.
“Iya nggak apa-apa, tapi pulangnya jangan kelamaan, nanti ayah khawatir, lho.” kata Zero.
“Ayah atau kamu?” godaku.
“Terserah.” muka Zero langsung memerah dan dia berbalik untuk pergi ke kelasnya.
“Sampai nanti!” teriakku sambil melambaikan tangan biarpun aku tahu dia tidak bisa melihatnya, dia hanya melambai balik sambil tetap membelakangiku.
Begitu bel pulang berbunyi aku langsung menghubungi Nina, dia bilang dia menunggu di taman air mancur yang letaknya tidak jauh dari sekolah kami jadi aku langsung kesana, aku sampai lebih dulu, Nina baru datang 15 menit kemudian.
“Sakura maaf, udah lama nunggu?” tanya Nina begitu dia melihatku.
“Nggak kok, tenang aja. Duduk disana, yuk biar ngobrolnya lebih enak.” kataku sambil menunjuk sebuah bangku panjang di dekat penjual es krim.
“Hari ini ada apa? Rasanya udah lama Sakura nggak mengajakku keluar.” kata Nina.
“Aku… mau minta maaf.” kataku sambil menunduk, aku malu dengan diriku sendiri, aku tidak bisa menatap Nina.
“Eh? Minta maaf? Untuk apa?” tanya Nina bingung.
“Aku… sudah merebut Zero, padahal dari kecil dulu aku tahu kalau Nina sangat menyukai Zero.” kataku masih menunduk, bahkan suaraku seperti tidak bisa keluar.
“Sakura ngomong apa, sih? Yang pertama kali suka sama Zero Sakura, kan? Zero juga dari awal memilih Sakura, aku ini di mata Zero cuma pengganti biarpun dia sendiri tidak menyadarinya.” kata Nina dan aku mulai menangis.
“Jangan nangis, nanti aku dimarahi Zero karena sudah membuat pacarnya yang manis menangis, makan es krim, yuk? Pasti bakal mendingan.” kata Nina sambil menggandeng tanganku, setelah selesai makan es krim kami pulang bersama karena rumah kami berdekatan.
Saat sampai di depan rumahku aku tidak melihat motor Zero, kemana dia? Tidak biasanya dia pulang lama sendirian, Mungkin pergi dengan temannya, pikirku, lalu aku masuk ke rumah.
Tidak lama setelah aku sampai di rumah hujan turun dengan derasnya, aku sedang berbaring di kasurku saat HP-ku berbunyi, telepon dari Zero, mungkin dia sudah ada di luar dan minta dibukakan pintu, sampai saat ini aku selalu lupa mengingatkannya membuat kunci baru.
“Halo, Zero?” jawabku semangat membayangkan aku akan bisa bersamanya lagi.
“Halo, ini keluarganya? Ini dari pihak rumah sakit…” orang itu belum selesai bicara tapi aku sudah mulai menangis, dari rumah sakit berarti sesuatu yang buruk sudah terjadi, aku tidak menangkap keseluruhan kata-kata yang diucapkan orang itu, intinya Zero kecelakaan dan sekarang ada di rumah sakit, air mataku masih mengalir saat aku menelepon ayah di taxi yang kutumpangi.
“Halo, ayah? Zero…” kataku masih terisak, ayah menyuruhku untuk tenang dan menjelaskan pelan-pelan, lalu ayah bilang dia akan menyusul secepatnya.
Begitu sampai di rumah sakit aku langsung ke resepsionis untuk menanyakan dimana Zero dan seorang suster langsung membawaku ke sebuah kamar dimana Zero sedang terbaring dengan banyak perban di badannya dan sebuah alat yang menunjukkan keadaannya, Setidaknya dia belum pergi ke tempat ibunya, pikirku, aku terus duduk di sampingnya sambil memegang tangannya.
“Bodoh, orang yang membawamu kesini katanya melihatmu berusaha menghindari genangan air sampai kamu tidak melihat mobil yang melaju kencang ke arahmu.” kataku “Harusnya hari ini aku pulang bersamamu seperti hari-hari lain, mampir ke tempat yang kita suka dan langsung pulang sebelum hujan turun.”

“Kamu bilang aku hanya boleh menangis di depanmu tapi kalau kamu tidur seperti ini dimana aku harus menangis? Siapa yang akan menghiburku? Cepat bangun, dong!” kataku sambil menyandarkan kepalaku di kasur, mungkin karena terlalu lelah menangis entah sejak kapan aku tertidur, semoga saat aku terbangun nanti Zero juga sudah bangun, seakan-akan semua ini hanya mimpi buruk.

No comments:

Post a Comment