Sejak hari itu, setiap hari aku menghabiskan waktuku
dengan Zero, tentu saja aku juga tidak melupakan hal-hal lain yang harus
kukerjakan, Zero juga mengerti, apalagi saat di rumah, hanya aku yang bisa
diandalkan kalau tidak insiden pancake itu bisa terulang lagi.
Dulu saat ditanya apa aku punya orang yang disukai aku
hanya tersenyum dan tidak bilang apa-apa, sekarang juga begitu, aku tidak mau
orang-orang menganggap aku dan Zero aneh makanya kami merahasiakannya, ada Nina
yang mengetahuinya juga tapi sepertinya dia juga diam. Dia menyadari perasaan
Zero bahkan sebelum dia sendiri menyadarinya dan dia tetap mau pacaran dengan
Zero, aku tahu pasti sakit sekali, aku harus cepat minta maaf padanya, untuk
mengambil orang yang berharga baginya, aku langsung mengirim pesan kepada Nina
untuk bertemu sepulang sekolah hari ini.
“Hari ini langsung pulang?” tanya Zero seperti biasa
begitu kami sampai di sekolah.
“Hari ini aku ada urusan, kamu hari ini sendiri nggak
apa-apa?” tanyaku sambil menyerahkan helm ke Zero.
“Iya nggak apa-apa, tapi pulangnya jangan kelamaan,
nanti ayah khawatir, lho.” kata Zero.
“Ayah atau kamu?” godaku.
“Terserah.” muka Zero langsung memerah dan dia
berbalik untuk pergi ke kelasnya.
“Sampai nanti!” teriakku sambil melambaikan tangan
biarpun aku tahu dia tidak bisa melihatnya, dia hanya melambai balik sambil
tetap membelakangiku.
Begitu bel pulang berbunyi aku langsung menghubungi
Nina, dia bilang dia menunggu di taman air mancur yang letaknya tidak jauh dari
sekolah kami jadi aku langsung kesana, aku sampai lebih dulu, Nina baru datang
15 menit kemudian.
“Sakura maaf, udah lama nunggu?” tanya Nina begitu dia
melihatku.
“Nggak kok, tenang aja. Duduk disana, yuk biar
ngobrolnya lebih enak.” kataku sambil menunjuk sebuah bangku panjang di dekat
penjual es krim.
“Hari ini ada apa? Rasanya udah lama Sakura nggak
mengajakku keluar.” kata Nina.
“Aku… mau minta maaf.” kataku sambil menunduk, aku
malu dengan diriku sendiri, aku tidak bisa menatap Nina.
“Eh? Minta maaf? Untuk apa?” tanya Nina bingung.
“Aku… sudah merebut Zero, padahal dari kecil dulu aku
tahu kalau Nina sangat menyukai Zero.” kataku masih menunduk, bahkan suaraku
seperti tidak bisa keluar.
“Sakura ngomong apa, sih? Yang pertama kali suka sama
Zero Sakura, kan? Zero juga dari awal memilih Sakura, aku ini di mata Zero cuma
pengganti biarpun dia sendiri tidak menyadarinya.” kata Nina dan aku mulai
menangis.
“Jangan nangis, nanti aku dimarahi Zero karena sudah membuat
pacarnya yang manis menangis, makan es krim, yuk? Pasti bakal mendingan.” kata
Nina sambil menggandeng tanganku, setelah selesai makan es krim kami pulang
bersama karena rumah kami berdekatan.
Saat sampai di depan rumahku aku tidak melihat motor
Zero, kemana dia? Tidak biasanya dia pulang lama sendirian, Mungkin pergi dengan temannya, pikirku,
lalu aku masuk ke rumah.
Tidak lama setelah aku sampai di rumah hujan turun
dengan derasnya, aku sedang berbaring di kasurku saat HP-ku berbunyi, telepon
dari Zero, mungkin dia sudah ada di luar dan minta dibukakan pintu, sampai saat
ini aku selalu lupa mengingatkannya membuat kunci baru.
“Halo, Zero?” jawabku semangat membayangkan aku akan
bisa bersamanya lagi.
“Halo, ini keluarganya? Ini dari pihak rumah sakit…”
orang itu belum selesai bicara tapi aku sudah mulai menangis, dari rumah sakit
berarti sesuatu yang buruk sudah terjadi, aku tidak menangkap keseluruhan kata-kata
yang diucapkan orang itu, intinya Zero kecelakaan dan sekarang ada di rumah
sakit, air mataku masih mengalir saat aku menelepon ayah di taxi yang
kutumpangi.
“Halo, ayah? Zero…” kataku masih terisak, ayah
menyuruhku untuk tenang dan menjelaskan pelan-pelan, lalu ayah bilang dia akan
menyusul secepatnya.
Begitu sampai di rumah sakit aku langsung ke
resepsionis untuk menanyakan dimana Zero dan seorang suster langsung membawaku
ke sebuah kamar dimana Zero sedang terbaring dengan banyak perban di badannya
dan sebuah alat yang menunjukkan keadaannya, Setidaknya dia belum pergi ke tempat ibunya, pikirku, aku terus
duduk di sampingnya sambil memegang tangannya.
“Bodoh, orang yang membawamu kesini katanya melihatmu
berusaha menghindari genangan air sampai kamu tidak melihat mobil yang melaju
kencang ke arahmu.” kataku “Harusnya hari ini aku pulang bersamamu seperti
hari-hari lain, mampir ke tempat yang kita suka dan langsung pulang sebelum
hujan turun.”
“Kamu bilang aku hanya boleh menangis di depanmu tapi
kalau kamu tidur seperti ini dimana aku harus menangis? Siapa yang akan
menghiburku? Cepat bangun, dong!” kataku sambil menyandarkan kepalaku di kasur,
mungkin karena terlalu lelah menangis entah sejak kapan aku tertidur, semoga
saat aku terbangun nanti Zero juga sudah bangun, seakan-akan semua ini hanya
mimpi buruk.
No comments:
Post a Comment