Keesokan harinya setelah ayah dan Zero pergi aku
mengunci pintu depan lalu melanjutkan beres-beres rumah karena ayah dan Zero
tadi – lagi-lagi – mencoba menghancurkan dapur biarpun aku sudah bangun lebih
pagi dari biasanya untuk menghindari hal ini tapi aku tetap kalah cepat dari
mereka, bahkan hari ini lebih parah dari kemarin.
Terkadang aku berpikir, bagaimana ayah dan Zero dulu
setelah ibu Zero meninggal, apa rumah ini berantakan setiap hari seperti itu?
Aku bisa membayangkannya, sih tapi tetap saja terlalu mengerikan bahkan hanya
untuk dibayangkan.
Setelah selesai beres-beres aku tidak tahu mau
melakukan apa, rasanya aneh berada di rumah sendirian, biar Zero kadang pulang
terlambat saat hari sekolah tapi itu tidak lama, saat libur seperti ini
biasanya ada Zero yang menemaniku, dia bukan tipe orang yang selalu mengajak
pacarnya keluar di hari libur “Aku ketemu dia lima kali seminggu dari pagi
sampai sore, kadang sampai malam, kalau aku ketemu dia terus seminggu penuh
mungkin aku bakal bosan.” jawabnya saat aku bertanya padanya kenapa dia tidak
pernah mengajak Nina keluar saat libur.
Aku sempat berpikir untuk mengajak seseorang untuk
menemaniku keluar tapi kemudian aku berubah pikiran. Kota ini kecil, tidak
banyak tempat menarik yang bisa dikunjungi di hari libur, paling hanya sebuah
pusat perbelanjaan terbesar – dan satu-satunya – di kota ini, sebuah taman
dengan air mancur besar tempat penjual es krim terenak – menurutku – berada dan
sebuah gedung bioskop tua, orang-orang pasti hanya ke salah satu dari sedikit
pilihan tempat itu dan aku yakin Zero adalah salah satu dari orang-orang itu,
jadi aku memutuskan untuk tinggal di rumah untuk istirahat – untuk menghindari
bertemu Zero - atau mungkin memikirkan perasaanku dan kata-kata Zero, entahlah.
Aku naik ke kamarku, berbaring di kasur dan hanya
memandangi langit-langit kamarku yang ditempeli sticker glow in the dark berbentuk bintang berbagai warna dan
ukuran, Zero yang menempelkannya untukku beberapa tahun yang lalu dan belum ada
satupun yang jatuh dari sana - entah karena lemnya yang bagus atau Zero yang
pintar menempelnya -, aku hanya memandangi langit-langit dalam diam, lagi-lagi
kaset rusak itu – pernyataan tidak langsung Zero – terputar lagi, karena mulai
kesal karena tidak bisa berpikir jernih aku memutuskan untuk duduk di kasurku
kemudian mataku langsung tertuju ke sebuah bingkai foto yang terletak di atas
meja belajarku, di bingkai itu terpasang fotoku dan Zero saat kami pergi
bersama ayah ke sebuah taman hiburan yang kami datangi saat kami berlibur ke
rumah kakek dan nenek Zero, saat itu adalah pertama kalinya aku bertemu dengan
mereka, sepertinya ayah sudah memberitahukan keberadaanku kepada mereka sebelum
kami berangkat kesini, mereka memperlakukanku seperti mereka memperlakukan
Zero, mereka sangat baik padaku.
Aku berjalan ke arah meja belajar lalu mengambil
bingkai foto itu dan memandanginya lama, di foto itu aku dan Zero terlihat
sangat kecil dibanding sekarang, itu sudah jelas, tapi aku benar-benar tidak
menyadari kalau kami tumbuh sangat cepat, di foto itu Zero hanya 5 senti lebih
tinggi dariku, sekarang selisih tinggi kami mungkin sekitar 20 senti, sampai
aku masuk SMP aku tidak menyadari kalau Zero bertambah tinggi dan dewasa,
berbeda dengan Zero yang kukenal 10 tahun yamg lalu.
Setelah puas melihat foto itu aku kembali berbaring
dan berpikir, tapi entah sejak kapan aku malah tertidur dan terbangun saat
HP-ku berbunyi. Telepon dari Zero, mungkin dia ada di bawah minta dibukakan
pintu atau mengabari akan pulang telat, hanya dua kemungkinan itu, aku langsung
mengangkat telepon itu.
“Buka pintu dong!” kata Zero bahkan sebelum aku sempat
mengatakan halo atau semacamnya.
“Iya iya, tunggu ya.” kataku lalu aku menaruh HP-ku di
kasur kemudian turun untuk membuka pintu.
“Hei, udah makan?” kata Zero begitu aku membukakan
pintu untuknya.
“Belum, nih. Aku baru bangun, kamu sendiri? Udah?”
tanyaku balik.
“Aku udah, tadi aku beli crepes, nih, cukup nggak?”
katanya sambil menyerahkan kantong plastic berisi kardus segitiga.
“Cukup! Banget malah!” jawabku semangat, aku dan Zero
sama-sama tahu kalau aku sangat suka makan crepes, “Makasih, ya. Aku sayang banget
sama Zero!” kataku spontan, baru setelah itu aku sadar apa yang sudah
kukatakan, Bodoh! Ngomong apa, sih! Nanti
dia salah kira lagi, pikirku,
“Sama-sama, makan sana, nanti dingin terus jadi nggak
enak, lho.” katanya entah dia tidak mendengar atau pura-pura tidak mendengar
bagian terakhir yang jelas aku tidak mau tahu, aku langsung lari ke dapur untuk
makan.
Semoga dia tidak salah sangka, harapku.
No comments:
Post a Comment