Thursday, January 1, 2015

Zero part 5

Keesokan harinya setelah ayah dan Zero pergi aku mengunci pintu depan lalu melanjutkan beres-beres rumah karena ayah dan Zero tadi – lagi-lagi – mencoba menghancurkan dapur biarpun aku sudah bangun lebih pagi dari biasanya untuk menghindari hal ini tapi aku tetap kalah cepat dari mereka, bahkan hari ini lebih parah dari kemarin.
Terkadang aku berpikir, bagaimana ayah dan Zero dulu setelah ibu Zero meninggal, apa rumah ini berantakan setiap hari seperti itu? Aku bisa membayangkannya, sih tapi tetap saja terlalu mengerikan bahkan hanya untuk dibayangkan.
Setelah selesai beres-beres aku tidak tahu mau melakukan apa, rasanya aneh berada di rumah sendirian, biar Zero kadang pulang terlambat saat hari sekolah tapi itu tidak lama, saat libur seperti ini biasanya ada Zero yang menemaniku, dia bukan tipe orang yang selalu mengajak pacarnya keluar di hari libur “Aku ketemu dia lima kali seminggu dari pagi sampai sore, kadang sampai malam, kalau aku ketemu dia terus seminggu penuh mungkin aku bakal bosan.” jawabnya saat aku bertanya padanya kenapa dia tidak pernah mengajak Nina keluar saat libur.
Aku sempat berpikir untuk mengajak seseorang untuk menemaniku keluar tapi kemudian aku berubah pikiran. Kota ini kecil, tidak banyak tempat menarik yang bisa dikunjungi di hari libur, paling hanya sebuah pusat perbelanjaan terbesar – dan satu-satunya – di kota ini, sebuah taman dengan air mancur besar tempat penjual es krim terenak – menurutku – berada dan sebuah gedung bioskop tua, orang-orang pasti hanya ke salah satu dari sedikit pilihan tempat itu dan aku yakin Zero adalah salah satu dari orang-orang itu, jadi aku memutuskan untuk tinggal di rumah untuk istirahat – untuk menghindari bertemu Zero - atau mungkin memikirkan perasaanku dan kata-kata Zero, entahlah.
Aku naik ke kamarku, berbaring di kasur dan hanya memandangi langit-langit kamarku yang ditempeli sticker glow in the dark berbentuk bintang berbagai warna dan ukuran, Zero yang menempelkannya untukku beberapa tahun yang lalu dan belum ada satupun yang jatuh dari sana - entah karena lemnya yang bagus atau Zero yang pintar menempelnya -, aku hanya memandangi langit-langit dalam diam, lagi-lagi kaset rusak itu – pernyataan tidak langsung Zero – terputar lagi, karena mulai kesal karena tidak bisa berpikir jernih aku memutuskan untuk duduk di kasurku kemudian mataku langsung tertuju ke sebuah bingkai foto yang terletak di atas meja belajarku, di bingkai itu terpasang fotoku dan Zero saat kami pergi bersama ayah ke sebuah taman hiburan yang kami datangi saat kami berlibur ke rumah kakek dan nenek Zero, saat itu adalah pertama kalinya aku bertemu dengan mereka, sepertinya ayah sudah memberitahukan keberadaanku kepada mereka sebelum kami berangkat kesini, mereka memperlakukanku seperti mereka memperlakukan Zero, mereka sangat baik padaku.
Aku berjalan ke arah meja belajar lalu mengambil bingkai foto itu dan memandanginya lama, di foto itu aku dan Zero terlihat sangat kecil dibanding sekarang, itu sudah jelas, tapi aku benar-benar tidak menyadari kalau kami tumbuh sangat cepat, di foto itu Zero hanya 5 senti lebih tinggi dariku, sekarang selisih tinggi kami mungkin sekitar 20 senti, sampai aku masuk SMP aku tidak menyadari kalau Zero bertambah tinggi dan dewasa, berbeda dengan Zero yang kukenal 10 tahun yamg lalu.
Setelah puas melihat foto itu aku kembali berbaring dan berpikir, tapi entah sejak kapan aku malah tertidur dan terbangun saat HP-ku berbunyi. Telepon dari Zero, mungkin dia ada di bawah minta dibukakan pintu atau mengabari akan pulang telat, hanya dua kemungkinan itu, aku langsung mengangkat telepon itu.
“Buka pintu dong!” kata Zero bahkan sebelum aku sempat mengatakan halo atau semacamnya.
“Iya iya, tunggu ya.” kataku lalu aku menaruh HP-ku di kasur kemudian turun untuk membuka pintu.
“Hei, udah makan?” kata Zero begitu aku membukakan pintu untuknya.
“Belum, nih. Aku baru bangun, kamu sendiri? Udah?” tanyaku balik.
“Aku udah, tadi aku beli crepes, nih, cukup nggak?” katanya sambil menyerahkan kantong plastic berisi kardus segitiga.
“Cukup! Banget malah!” jawabku semangat, aku dan Zero sama-sama tahu kalau aku sangat suka makan crepes, “Makasih, ya. Aku sayang banget sama Zero!” kataku spontan, baru setelah itu aku sadar apa yang sudah kukatakan, Bodoh! Ngomong apa, sih! Nanti dia salah kira lagi, pikirku,
“Sama-sama, makan sana, nanti dingin terus jadi nggak enak, lho.” katanya entah dia tidak mendengar atau pura-pura tidak mendengar bagian terakhir yang jelas aku tidak mau tahu, aku langsung lari ke dapur untuk makan.

Semoga dia tidak salah sangka, harapku.

No comments:

Post a Comment